Runtuhnya
Monarki dan Lahirnya Komunisme di Cina
“Behind each Imperial project was a powerful minister
and behind each minister a powerful body of Landlords”
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhrQf9kDCkD6DELiMT9PJGF8i2nAqH8ffZlV16C2zn6CDf1PACod3jtqR7GUsjFFJHYlXpE0Z8wq_YzE5fRpgX1ltTd1ehtFtGYLAUrgbx7BgaTAdGxGugSaaVOJQSMBs2RcegFD_Rqec/s320/images.jpg)
Gambar diambil dari sini: http://chineseposters.net
Dalam transformasi masyarakat agraria (agrarian societies) menuju ke masyarakat
industri modern, kelompok kelas atas yang kerapkali ditempati oleh para tuan
tanah dan kelompok kelas bawah yang ditempati oleh para petani, menunjukan
berbagai peran politik. Ada berbagai kondisi historis yang menyebabkan kedua
kelompok masyarakat di pedesaan ini menjadi kekuatan penting dari munculnya
demokrasi parlementer versi barat dan kediktatoran kanan (fasisme) serta
kediktatoran kiri (komunisme). Barington Moore menampilkan sejarah dan dinamika
kelas sosial di China untuk memberikan gambaran mengenai proses transformasi
masyarakat yang terjadi. Dalam konteks Asia, Cina-Jepang-India merupakan tiga
negara yang dijadikan contoh kasus untuk menunjukan berjalannya sebuah proses
politik yang berkaitan erat dengan relasi tuan tanah (landlord) dan petani (peasant)
di masa yang disebutnya dengan istilah ‘modern
world’.
Lapisan
atas (upper class) pada masyarakat
China ketika itu digambarkan dengan beberapa istilah yaitu ‘gentry’, feudalism dan bureucracy’. Era imperial atau
kekaisaran di China ini ditandai dengan kepemilikan tanah pada kelompok
tuan-tuan tanah yang penghasilan utamanya berasal dari sewa. Inilah yang
kemudian dipahami sebagai sistem kebangsawanan yang berbasis pada tanah (aristocracy tied to land). Terdapat
diferensi kelas yang ditandai dengan adanya tuan tanah kaya yang tidak
terpelajar, dan mereka kelompok terpelajar yang sama sekali tidak memiliki
tanah. Kepemilikan tanah, pendidikan dan birokrasi adalah tiga hal penting yang
menentukan kelas sosial seseorang. Keluarga dengan sistem patrilineal di China menjadi kunci untuk memahami basis
akumulasi kapital dalam masyarakat. Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang
meluas (klan), proses akumulasi kekayaan diperoleh dari melayani kaisar dengan
bekerja di tanah-tanah miliknya. Dalam masyarakat agraris, melalui sistem
kekerabatan patrilineal, kelompok laki-laki mengakumulasikan kekayaannya dari
tanah yang dikerjakannya. Sementara itu kelompok aristokrat, berinvestasi
melalui pendidikan yang akan membantu mereka untuk memperoleh posisi yang baik
di birokrasi. Posisi di birokrasi inilah yang nantinya akan membantunya untuk
memperbanyak kekayaan keluarga. Secara ringkas, struktur sosial masyarakat
China ketika itu dapat digambarkan seperti berikut ini:
Gb.1. Struktur Sosial Masyarakat China pada masa kekaisaran
Dalam struktur sosial tersebut, tuan tanah berperan
dalam menyediakan tanah-tanah yang kemudian akan disewakan kepada petani.
Petani menyediakan tenaganya dan bekerja di tanah-tanah milik para tuan tanah. Hubungan
sewa/garap ini diatur oleh birokrasi kerajaan. Idealnya hasil panen dari tanah
garapan adalah dibagi dua, namun seringkali 80% dari hasil panen diambil oleh
pemilik (tuan tanah) dan petani hanya memperoleh 20% dari yang tersisa. Tuan
tanah tidak menerima hasil kerja dalam bentuk uang, melainkan natura seperti
beras (untuk daerah China bagian selatan) dan gandum (untuk daerah China bagian
utara). Kaisar adalah superlandlord atau tuannya tuan tanah yanh mengumpulkan
semua hasil panen yang dihasilkan dan berhak menerima surplus dari tuan tanah
untuk kemudian dijual.
Birokrasi
memainkan peranan yang penting pada masyarakat China ketika itu. Tuan-tuan
tanah memiliki kepentingan besar dan bisa mengontrol birokrasi (terjadi semacam
hubungan simbiosis mutualis). Tuan tanah memiliki banyak kepentingan terhadap
pegawai pemerintah (birokrasi) untuk bisa melindungi hak milik
(tanah-tanahnya). Melalui para pegawai pemerintah pula, tuan-tuan tanah ini
meminta fasilitas untuk mendukung produksi pertanian mereka, seperti:
membangunkan jalur irigasi.
Dalam
perkembangannya, struktur sosial di masa kekaisaran inipun mulai bergeser
terutama berkaitan dengan upaya untuk memperoleh kekayaan atau kemakmuran’.
Posisi strategis birokrasi atau pegawai pemerintah dalam struktur tradisional
Cina menyebabkan ‘birokrasi’ menjadi semacam instrumen untuk mencapai
kemakmuran. Birokrasi menjadi alternatif cara untuk memperoleh surplus ekonomi
bagi petani dan penduduk di daerah perkotaan. Kelompok kelas bawah ini pada
akhirnya mengirimkan anak-anak mereka yang cerdas untuk bisa masuk ke birokrasi
dan menjadi bagian dari sistem tersebut. Sebagai bagian dari birokrasi atau
dengan menjadi pegawai pemerintah inilah, mereka bisa mulai memiliki kekayaan
(tanah) dan berharap untuk bisa keluar dari kemiskinan. Praktik-praktik pembelian
tanah sebagai investasi banyak dilakukan oleh para pegawai. Praktik korupsi
menjadi pemakluman sosial karena banyak dijalankan di era ini.[1]
Selain dari tanah, kelompok pegawai pemerintah ini juga melakukan akumulasi
sumberdaya melalui perdagangan. Kelompok pegawai pemerintah di China memiliki
identitas yang kuat karena privelege yang diberikan oleh kaisar. Sistem
kekaisaran tidak semata cara untuk mencari kepemilikan tetapi juga untuk
memperolehnya.
Sistem
monarki di China pada kenyataannya tidak berlangsung lama.[2]
Pada akhir abad ke-18, perdagangan yang masuk ke China mulai berdampak pada
lunturnya kekaisaran. Dalam upaya untuk meredam berbagai pemberontakan internal
dan ancaman dari negara lain, diperlukan sumber-sumber pemasukan yang tidak
bisa hanya sekedar mengandalkan sistem privelese dari kaum bangsawan. Untuk
memperoleh sumber-sumber pemasukan inilah maka diperlukan perdagangan dan
industri. Sistem perdagangan ini menciptakan sistem pajak baru yang lebih
efektif dan secara tidak langsung mengurangi praktik-praktik birokrasi yang
koruptif. Pemerintah bersikap lebih terbuka dan mengizinkan banyak orang untuk
masuk dalam sistem rekruitmen yang baru dengan berbasis pada skill. Perdagangan telah mendorong
lahirnya kelompok hybrid dalam masyarakat. Dengan kemampuannya mereka bisa
melakukan kontrol dan koreksi terhadap sistem birokrasi yang ada. Disinilah
dapat dikatakan bahwa China seperti halnya Rusia, memasuki era modern dengan
munculnya kelas menengah. Sebuah percampuan kelas baru muncul yaitu antara
kelompok bangsawan dengan kaum urban yang memimpin di bidang perdagangan,
keuangan dan industri. Pasca Perang Dunia Kedua, China bukan lagi negara dengan
kelas aristokratnya yang memiliki tanah-tanah sangat luas dan mengeksploitasi
petani miskin serta buruh tidak bertanah. China berubah menjadi negara dengan
banyaknya sistem kepemilikan tanah absentee yang ini menciptakan tingkat
kemakmuran yang beragam. Dengan menghilangnya privelese tradisi feodal, hubungan antara pemilik tanah dengan
penyewa menjadi lebih didasarkan pada hubungan kontrak bisnis.
Seiring
dengan ketidakmampuan kekaisaran dalam melindungi masyarakat, mereka pun
mengambilalih dan berupaya untuk mempertahankan dengan caranya sendiri seperti
mengambil pajak dan mengelola administrasinya. Berkaitan dengan property atau
kepemilikan dan kohesi sosial, aspek terpenting yang kemudian perlu dicermati
adalah tumbuhnya kelompok petani marjinal dalam jumlah yang sangat besar.
Mereka ini berada pada lapisan terbawah dalam hierarki desa. Mereka tidak hanya
marjinal dalam arti fisik (kemampuan mencukupi pangan) tetapi juga dalam
kepemilikan property. Mereka inilah yang kemudian menjadi basis revolusi dan
menjadi embrio dari berkembangnya gerakan komunis. Petani-petani inilah yang
kemudian melahirkan gerakan massa untuk mengubah tatanan lama.
Moore, Barrington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy Lord and Peasant in the
Making of the Modern World. England: Penguin Books Ltd.
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
[1]
Dalam struktur sosial yang baru ini juga muncul kelompok sheng-yiian, yaitu
mereka yang memiliki kesarjaan tertentu dan berada di lapisan kelas bawah dalam
pemerintahan. Mereka ini tidak bisa disebut sebagai lapisan (upper
class) tetapi juga tidak bisa disebut sebagai masyarakat biasa (commoners).
[2] Monarki berlangsung dari awal proklamasi RRC
pada tahun 1911 sampai pada Dinasti Kuomintang tahun 1927.
No comments:
Post a Comment