Monday, March 7, 2016

Politik Agraria


Runtuhnya Monarki dan Lahirnya Komunisme di Cina


“Behind each Imperial project was a powerful minister and behind each minister a powerful body of Landlords”


 
Gambar diambil dari sini:  http://chineseposters.net


Dalam transformasi masyarakat agraria (agrarian societies) menuju ke masyarakat industri modern, kelompok kelas atas yang kerapkali ditempati oleh para tuan tanah dan kelompok kelas bawah yang ditempati oleh para petani, menunjukan berbagai peran politik. Ada berbagai kondisi historis yang menyebabkan kedua kelompok masyarakat di pedesaan ini menjadi kekuatan penting dari munculnya demokrasi parlementer versi barat dan kediktatoran kanan (fasisme) serta kediktatoran kiri (komunisme). Barington Moore menampilkan sejarah dan dinamika kelas sosial di China untuk memberikan gambaran mengenai proses transformasi masyarakat yang terjadi. Dalam konteks Asia, Cina-Jepang-India merupakan tiga negara yang dijadikan contoh kasus untuk menunjukan berjalannya sebuah proses politik yang berkaitan erat dengan relasi tuan tanah (landlord) dan petani (peasant) di masa yang disebutnya dengan istilah ‘modern world’. 




             Lapisan atas (upper class) pada masyarakat China ketika itu digambarkan dengan beberapa istilah yaitu ‘gentry’, feudalism dan bureucracy’. Era imperial atau kekaisaran di China ini ditandai dengan kepemilikan tanah pada kelompok tuan-tuan tanah yang penghasilan utamanya berasal dari sewa. Inilah yang kemudian dipahami sebagai sistem kebangsawanan yang berbasis pada tanah (aristocracy tied to land). Terdapat diferensi kelas yang ditandai dengan adanya tuan tanah kaya yang tidak terpelajar, dan mereka kelompok terpelajar yang sama sekali tidak memiliki tanah. Kepemilikan tanah, pendidikan dan birokrasi adalah tiga hal penting yang menentukan kelas sosial seseorang. Keluarga dengan sistem patrilineal di China menjadi kunci untuk memahami basis akumulasi kapital dalam masyarakat. Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang meluas (klan), proses akumulasi kekayaan diperoleh dari melayani kaisar dengan bekerja di tanah-tanah miliknya. Dalam masyarakat agraris, melalui sistem kekerabatan patrilineal, kelompok laki-laki mengakumulasikan kekayaannya dari tanah yang dikerjakannya. Sementara itu kelompok aristokrat, berinvestasi melalui pendidikan yang akan membantu mereka untuk memperoleh posisi yang baik di birokrasi. Posisi di birokrasi inilah yang nantinya akan membantunya untuk memperbanyak kekayaan keluarga. Secara ringkas, struktur sosial masyarakat China ketika itu dapat digambarkan seperti berikut ini:


Gb.1. Struktur Sosial Masyarakat China  pada masa kekaisaran

Dalam struktur sosial tersebut, tuan tanah berperan dalam menyediakan tanah-tanah yang kemudian akan disewakan kepada petani. Petani menyediakan tenaganya dan bekerja di tanah-tanah milik para tuan tanah. Hubungan sewa/garap ini diatur oleh birokrasi kerajaan. Idealnya hasil panen dari tanah garapan adalah dibagi dua, namun seringkali 80% dari hasil panen diambil oleh pemilik (tuan tanah) dan petani hanya memperoleh 20% dari yang tersisa. Tuan tanah tidak menerima hasil kerja dalam bentuk uang, melainkan natura seperti beras (untuk daerah China bagian selatan) dan gandum (untuk daerah China bagian utara). Kaisar adalah superlandlord atau tuannya tuan tanah yanh mengumpulkan semua hasil panen yang dihasilkan dan berhak menerima surplus dari tuan tanah untuk kemudian dijual.
         Birokrasi memainkan peranan yang penting pada masyarakat China ketika itu. Tuan-tuan tanah memiliki kepentingan besar dan bisa mengontrol birokrasi (terjadi semacam hubungan simbiosis mutualis). Tuan tanah memiliki banyak kepentingan terhadap pegawai pemerintah (birokrasi) untuk bisa melindungi hak milik (tanah-tanahnya). Melalui para pegawai pemerintah pula, tuan-tuan tanah ini meminta fasilitas untuk mendukung produksi pertanian mereka, seperti: membangunkan jalur irigasi.
          Dalam perkembangannya, struktur sosial di masa kekaisaran inipun mulai bergeser terutama berkaitan dengan upaya untuk memperoleh kekayaan atau kemakmuran’. Posisi strategis birokrasi atau pegawai pemerintah dalam struktur tradisional Cina menyebabkan ‘birokrasi’ menjadi semacam instrumen untuk mencapai kemakmuran. Birokrasi menjadi alternatif cara untuk memperoleh surplus ekonomi bagi petani dan penduduk di daerah perkotaan. Kelompok kelas bawah ini pada akhirnya mengirimkan anak-anak mereka yang cerdas untuk bisa masuk ke birokrasi dan menjadi bagian dari sistem tersebut. Sebagai bagian dari birokrasi atau dengan menjadi pegawai pemerintah inilah, mereka bisa mulai memiliki kekayaan (tanah) dan berharap untuk bisa keluar dari kemiskinan. Praktik-praktik pembelian tanah sebagai investasi banyak dilakukan oleh para pegawai. Praktik korupsi menjadi pemakluman sosial karena banyak dijalankan di era ini.[1] Selain dari tanah, kelompok pegawai pemerintah ini juga melakukan akumulasi sumberdaya melalui perdagangan. Kelompok pegawai pemerintah di China memiliki identitas yang kuat karena privelege yang diberikan oleh kaisar. Sistem kekaisaran tidak semata cara untuk mencari kepemilikan tetapi juga untuk memperolehnya.
       Sistem monarki di China pada kenyataannya tidak berlangsung lama.[2] Pada akhir abad ke-18, perdagangan yang masuk ke China mulai berdampak pada lunturnya kekaisaran. Dalam upaya untuk meredam berbagai pemberontakan internal dan ancaman dari negara lain, diperlukan sumber-sumber pemasukan yang tidak bisa hanya sekedar mengandalkan sistem privelese dari kaum bangsawan. Untuk memperoleh sumber-sumber pemasukan inilah maka diperlukan perdagangan dan industri. Sistem perdagangan ini menciptakan sistem pajak baru yang lebih efektif dan secara tidak langsung mengurangi praktik-praktik birokrasi yang koruptif. Pemerintah bersikap lebih terbuka dan mengizinkan banyak orang untuk masuk dalam sistem rekruitmen yang baru dengan berbasis pada skill. Perdagangan telah mendorong lahirnya kelompok hybrid dalam masyarakat. Dengan kemampuannya mereka bisa melakukan kontrol dan koreksi terhadap sistem birokrasi yang ada. Disinilah dapat dikatakan bahwa China seperti halnya Rusia, memasuki era modern dengan munculnya kelas menengah. Sebuah percampuan kelas baru muncul yaitu antara kelompok bangsawan dengan kaum urban yang memimpin di bidang perdagangan, keuangan dan industri. Pasca Perang Dunia Kedua, China bukan lagi negara dengan kelas aristokratnya yang memiliki tanah-tanah sangat luas dan mengeksploitasi petani miskin serta buruh tidak bertanah. China berubah menjadi negara dengan banyaknya sistem kepemilikan tanah absentee yang ini menciptakan tingkat kemakmuran yang beragam. Dengan menghilangnya privelese tradisi  feodal, hubungan antara pemilik tanah dengan penyewa menjadi lebih didasarkan pada hubungan kontrak bisnis.
         Seiring dengan ketidakmampuan kekaisaran dalam melindungi masyarakat, mereka pun mengambilalih dan berupaya untuk mempertahankan dengan caranya sendiri seperti mengambil pajak dan mengelola administrasinya. Berkaitan dengan property atau kepemilikan dan kohesi sosial, aspek terpenting yang kemudian perlu dicermati adalah tumbuhnya kelompok petani marjinal dalam jumlah yang sangat besar. Mereka ini berada pada lapisan terbawah dalam hierarki desa. Mereka tidak hanya marjinal dalam arti fisik (kemampuan mencukupi pangan) tetapi juga dalam kepemilikan property. Mereka inilah yang kemudian menjadi basis revolusi dan menjadi embrio dari berkembangnya gerakan komunis. Petani-petani inilah yang kemudian melahirkan gerakan massa untuk mengubah tatanan lama.


Moore, Barrington. 1966. Social Origins of Dictatorship and Democracy Lord and Peasant in the Making of the Modern World. England: Penguin Books Ltd.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

[1] Dalam struktur sosial yang baru ini juga muncul kelompok sheng-yiian, yaitu mereka yang memiliki kesarjaan tertentu dan berada di lapisan kelas bawah dalam pemerintahan. Mereka ini tidak bisa disebut sebagai  lapisan (upper class) tetapi juga tidak bisa disebut sebagai masyarakat biasa (commoners).
[2]  Monarki berlangsung dari awal proklamasi RRC pada tahun 1911 sampai pada Dinasti Kuomintang tahun 1927.

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...