Tuesday, March 22, 2016

Inovasi Ekologi



Innovators Versus Adopters: Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’ dalam
Penyebarluasan Inovasi Ekologi (Eco-Innovation)



Memahami modernisasi ekologi merupakan salah satu upaya untuk bisa melihat logika yang dikembangkan dalam menciptakan ekologi yang berkelanjutan dalam perspektif teori modernis. Seperti halnya dalam teori pembangunan Rostow, secara umum Huber memberikan sebuah gambaran proses pertumbuhan yang linear. Inovasi yang ditunjukan Huber menjelaskan hal ini dengan beberapa terminologi yang dimunculkan seperti: advanced, developed, dan backward. Sebagaimana disebutkan secara jelas ada 3 (tiga) komponen kunci yang perlu diperhatikan yaitu aturan (regulation), perusahaan perintis (pioneer company) dan pasar (market). Dalam ketiga komponen kunci ini, Huber menegaskan bahwa dalam konteks adopsi inovasi ekologi, pembangunan yang tidak merata menjadi hambatan bagi negara-negara berkembang.





Technological Environment Innovations-TEIs atau Eco Innovation menjadi titik berangkat Huber dalam tulisan ini untuk mempertanyakan Bagaimana dan oleh siapa inovasi teknologi lingkungan (Technological Environment Innovations-TEI atau eco-innovation- dikembangkan dan disebarluaskan? Huber sendiri berpendapat bahwa masing-masing faktor atau aktor yang paling penting adalah pemerintah atau aktor negara yang berperan dalam mendorong dan mendukung aktivitas eco-innovative yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perintis. Hal inilah yang kemudian menciptakan pasar nasional. Pengelolaan lingkungan global, sebaliknya tidak menunjukan kecocokan dengan pengembangan TEI. Eco-innovation disebarluaskan oleh proses adopsi baik domestik maupun global. Penyebarluasan inovasi regulasi dan TEI dalam sistem dunia, meskipun dengan batasan-batasan tertentu tetap lekat dengan ketidakmerataan pembangunan. Dalam menguraikan pertalian pandangan mengenai pengembangan dan penyebarluasan TEIs secara global, Huber menjelaskan dalam 6 tesis utama seperti dapat dicermati berikut ini:



Dikotomi ‘Innovator’ dan ‘Adopters’

 Merefleksikan apa yang diuraikan oleh Huber, satu hal yang menjadi pertanyaan penting saya sejak awal adalah dengan konsep ‘modernisasi’. Penggunaan konsep ini sehingga kemudian muncul menjadi ‘modernisasi ekologi’ pada kenyataannya menghadirkan dikotomi yang jelas yaitu antara ‘innovator’ dan ‘adopter’ yang dalam hal ini innovator secara jelas ditunjukkan dalam posisi negara-negara maju yang mampu menginvestasikan pengetahuan dan modal ekonominya dalam bentuk kecanggihan teknologi sehingga mampu menjadi leader ataupun pioner dari temuan-temuan yang kemudian akan menjadi desain teknologi yang direplikasi di negara-negara yang lain. Sementara itu, posisi adopter atau pengadopsi inovasi dilekatkan dengan negara-negara bukan inovator yang diantaranya adalah negara berkembang. Secara jelas di awal, Huber menjelaskan bahwa hambatan penyebarluasan inovasi adalah ketidakmerataan pembangunan. Dalam hal inilah ideologi penyebarluasan inovasi teknologi lingkungan menjadi sangat bias. Bias dominasi akumulasi pengetahuan dan modal ekonomi yang dimiliki oleh negara-negara maju untuk bisa menjadikan paket teknologi lingkungan yang diklaimnya sebagai inovasi itu ‘layak’ dan wajib direplikasi oleh negara-negara yang lain. Tentu saja argumen yang berada dibaliknya adalah keberlanjutan ekologi untuk masa mendatang. 
 

Dalam konteks dikotomi antara negara maju dan negara berkembang yang berada dalam posisi sebagai inovator atau adopter inilah, persoalan ‘siapa yang menemukan teknologi’ tidak bisa dilihat secara taken for granted. Penemu atau inovator berkaitan erat dengan persoalan investasi, yaitu mereka yang memiliki akumulasi modal dan pengetahuan serta tentu saja memiliki kekuasaan untuk kemudian bisa melemparnya atau membawanya ke pasar. Selanjutnya yang menjadi menarik untuk dipertanyakan adalah berkaitan dengan ‘cost’ atau biaya dan ‘benefit’ atau manfaat. Dalam konteks penyebarluasan inovasi teknologi lingkungan ini, siapakah pengambil manfaat utamanya? Dan siapa yang dibebani dengan cost atau pembiayaannya.
                Relasi yang tidak seimbang juga sudah ditengarai oleh Huber terutama yang ditunjukannya dalam tesisnya yang keenam mengenai hirarki sistem. Hirarki inilah yang memposisikan negara-negara berkembang untuk terus merujuk pada temuan ataupun desain lingkungan yang diciptakan oleh negara maju. Dalam perspektif teori modernisasi ekologi ini, dimanakah sebenarnya tempat inovasi yang dibuat oleh negara-negara adopters? Manfaat yang diperoleh core innovator atau negara maju, apakah memang sudah menjadi bagian dari investasi yang sudah mereka siapkan sebelumnya? Jika kemudian yang terjadi adalah rujukan terus menerus ke arah kemajuan teknologi versi inovator, bukan tidak mungkin yang terjadi dalam perspektif modernisasi ekologi versi Huber ini akan melahirkan proses dominasi. Agenda yang kemudian dibangun melalui inovasi ini bukanlah sebuah perspektif mengenai bagaimana membangun atau menciptakan lingkungan yang lebih baik untuk keberlanjutan generasi mendatang dan mengurangi terjadinya kerusakan ekologis yang semakin tidak bisa ditoleransi, melainkan hanya semacam kamuflase dari penciptaan pasar-pasar baru. Pasar yang dikonstruksikan dan dikondisikan oleh negara-negara maju sebagai inovator untuk memaksa negara berkembang mereplikasi desain teknologi lingkungan yang ‘terpercaya’ menurut mereka. Jika ini yang terjadi, jelas pengambil manfaat terbesar dari agenda ini adalah negara-negara maju dan cost atau biaya yang dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai dampak akan dirasakan oleh negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang hanya berhenti sebagai ‘pasar’ dan ‘objek’ dari berbagai standar serta ketentuan yang sudah dikembangkan melalui inovasi teknologi yang dibawa oleh negara maju.  

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Huber, Joseph. 2008. "Pioneer Countries and the Global Diffusion of Environmental Innovations: Theses from the Viewpoint of Ecological Modernisation Theory". Global Environment Change, Volume 18, pp 360-367. www.elsevier.com/locate/gloencha.




No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...