Innovators Versus Adopters: Menimbang ‘Benefit’ dan ‘Cost’ dalam
Penyebarluasan Inovasi
Ekologi (Eco-Innovation)
Memahami modernisasi ekologi merupakan salah satu
upaya untuk bisa melihat logika yang dikembangkan dalam menciptakan ekologi
yang berkelanjutan dalam perspektif teori modernis. Seperti halnya dalam teori
pembangunan Rostow, secara umum Huber memberikan sebuah gambaran proses pertumbuhan
yang linear. Inovasi yang ditunjukan Huber menjelaskan hal ini dengan beberapa
terminologi yang dimunculkan seperti: advanced,
developed, dan backward. Sebagaimana
disebutkan secara jelas ada 3 (tiga) komponen kunci yang perlu diperhatikan
yaitu aturan (regulation), perusahaan
perintis (pioneer company) dan pasar
(market). Dalam ketiga komponen kunci
ini, Huber menegaskan bahwa dalam konteks adopsi inovasi ekologi, pembangunan
yang tidak merata menjadi hambatan bagi negara-negara berkembang.
Technological Environment Innovations-TEIs atau Eco
Innovation menjadi titik berangkat Huber dalam tulisan ini untuk
mempertanyakan Bagaimana dan oleh siapa inovasi teknologi lingkungan (Technological Environment Innovations-TEI
atau eco-innovation- dikembangkan dan
disebarluaskan? Huber sendiri berpendapat bahwa masing-masing faktor atau aktor
yang paling penting adalah pemerintah atau aktor negara yang berperan dalam
mendorong dan mendukung aktivitas eco-innovative
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perintis. Hal inilah yang kemudian
menciptakan pasar nasional. Pengelolaan lingkungan global, sebaliknya tidak
menunjukan kecocokan dengan pengembangan TEI. Eco-innovation disebarluaskan
oleh proses adopsi baik domestik maupun global. Penyebarluasan inovasi regulasi
dan TEI dalam sistem dunia, meskipun dengan batasan-batasan tertentu tetap
lekat dengan ketidakmerataan pembangunan. Dalam menguraikan pertalian pandangan
mengenai pengembangan dan penyebarluasan TEIs secara global, Huber menjelaskan
dalam 6 tesis utama seperti dapat dicermati berikut ini:
Dikotomi ‘Innovator’ dan ‘Adopters’
Merefleksikan
apa yang diuraikan oleh Huber, satu hal yang menjadi pertanyaan penting saya
sejak awal adalah dengan konsep ‘modernisasi’. Penggunaan konsep ini sehingga
kemudian muncul menjadi ‘modernisasi ekologi’ pada kenyataannya menghadirkan
dikotomi yang jelas yaitu antara ‘innovator’
dan ‘adopter’ yang dalam hal ini
innovator secara jelas ditunjukkan dalam posisi negara-negara maju yang mampu
menginvestasikan pengetahuan dan modal ekonominya dalam bentuk kecanggihan
teknologi sehingga mampu menjadi leader
ataupun pioner dari temuan-temuan yang kemudian akan menjadi desain teknologi
yang direplikasi di negara-negara yang lain. Sementara itu, posisi adopter atau
pengadopsi inovasi dilekatkan dengan negara-negara bukan inovator yang
diantaranya adalah negara berkembang. Secara jelas di awal, Huber menjelaskan
bahwa hambatan penyebarluasan inovasi adalah ketidakmerataan pembangunan. Dalam
hal inilah ideologi penyebarluasan inovasi teknologi lingkungan menjadi sangat
bias. Bias dominasi akumulasi pengetahuan dan modal ekonomi yang dimiliki oleh
negara-negara maju untuk bisa menjadikan paket teknologi lingkungan yang
diklaimnya sebagai inovasi itu ‘layak’ dan wajib direplikasi oleh negara-negara
yang lain. Tentu saja argumen yang berada dibaliknya adalah keberlanjutan
ekologi untuk masa mendatang.
Dalam konteks dikotomi antara negara maju dan negara
berkembang yang berada dalam posisi sebagai inovator atau adopter inilah, persoalan
‘siapa yang menemukan teknologi’ tidak bisa dilihat secara taken for granted. Penemu atau inovator berkaitan erat dengan
persoalan investasi, yaitu mereka yang memiliki akumulasi modal dan pengetahuan
serta tentu saja memiliki kekuasaan untuk kemudian bisa melemparnya atau
membawanya ke pasar. Selanjutnya yang menjadi menarik untuk dipertanyakan
adalah berkaitan dengan ‘cost’ atau
biaya dan ‘benefit’ atau manfaat.
Dalam konteks penyebarluasan inovasi teknologi lingkungan ini, siapakah
pengambil manfaat utamanya? Dan siapa yang dibebani dengan cost atau pembiayaannya.
Relasi
yang tidak seimbang juga sudah ditengarai oleh Huber terutama yang
ditunjukannya dalam tesisnya yang keenam mengenai hirarki sistem. Hirarki
inilah yang memposisikan negara-negara berkembang untuk terus merujuk pada
temuan ataupun desain lingkungan yang diciptakan oleh negara maju. Dalam
perspektif teori modernisasi ekologi ini, dimanakah sebenarnya tempat inovasi
yang dibuat oleh negara-negara adopters?
Manfaat yang diperoleh core innovator
atau negara maju, apakah memang sudah menjadi bagian dari investasi yang sudah
mereka siapkan sebelumnya? Jika kemudian yang terjadi adalah rujukan terus
menerus ke arah kemajuan teknologi versi inovator, bukan tidak mungkin yang
terjadi dalam perspektif modernisasi ekologi versi Huber ini akan melahirkan
proses dominasi. Agenda yang kemudian dibangun melalui inovasi ini bukanlah
sebuah perspektif mengenai bagaimana membangun atau menciptakan lingkungan yang
lebih baik untuk keberlanjutan generasi mendatang dan mengurangi terjadinya
kerusakan ekologis yang semakin tidak bisa ditoleransi, melainkan hanya semacam
kamuflase dari penciptaan pasar-pasar baru. Pasar yang dikonstruksikan dan
dikondisikan oleh negara-negara maju sebagai inovator untuk memaksa negara
berkembang mereplikasi desain teknologi lingkungan yang ‘terpercaya’ menurut
mereka. Jika ini yang terjadi, jelas pengambil manfaat terbesar dari agenda ini
adalah negara-negara maju dan cost atau biaya yang dalam hal ini bisa
didefinisikan sebagai dampak akan dirasakan oleh negara-negara berkembang.
Negara-negara berkembang hanya berhenti sebagai ‘pasar’ dan ‘objek’ dari
berbagai standar serta ketentuan yang sudah dikembangkan melalui inovasi
teknologi yang dibawa oleh negara maju.
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
Huber, Joseph. 2008. "Pioneer Countries and the
Global Diffusion of Environmental Innovations: Theses from the Viewpoint of
Ecological Modernisation Theory". Global Environment Change, Volume
18, pp 360-367. www.elsevier.com/locate/gloencha.
No comments:
Post a Comment