Friday, December 4, 2015

Mengenal Pemikiran Durkheim



  
Mengenal Pemikiran Durkheim Melalui Lewis A Coser


Lewis A Coser.1977. Master of Sociological Thought, Ideas in Historical and Social Context. Second edition. New York. Harcourt Brave Jovanovich, Inc. 



Mengawali pembacaan saya pada tulisan Coser, saya mencoba melihat potret besar Durkheim yang digambarkan Coser. Karya Durkheim, sebagaimana disebut Coser adalah sebuah master. Durkheim memberikan prinsip-prinsip dasar dalam analisis struktural fungsional dalam sosiologi. Durkheim mengkritik metode psikologi dalam mengkaji masyarakat dengan memperkenalkan konsep kunci mengenai anomi, integrasi sosial, dan solidaritas organik. Semasa hidupnya, Durkheim bergelut dengan minatnya terhadap isu-isu moral pada jamannya. Ia melihat isu-isu moral tersebut sebagai tugasnya untuk berkontribusi pada regenerasi moral Perancis, dimana ia merasa memiliki kelekatan yang sangat kuat. Dalam mencapai tujuannya inilah, Durkheim tidak ingin melalui jalan pintas. Baginya, seorang ilmuwan sosial dapat mengklaim campur tangannya dalam masyarakat hanya jika penyelidikan ilmiahnya dapat memberikan hasil yang meyakinkan masyarakat. Ia ingin membangun ilmu sosial yang bisa menjadi dasar dari tindakan masyarakat.
            Selain gambaran mengenai sosoknya secara personal, Coser menampilkan konteks intelektual yang berpangaruh pada pemikiran Durkheim, konteks sosial yang menginspirasi karyanya, serta latarbelakang keluarganya. ‘The mature of Durkheim’ atau ‘pemikiran Durkheim yang lebih dewasa’ adalah kekhasan yang beberapa kali dimunculkan Coser untuk menunjukan bahwa Durkheim beberapa kali mengubah konsep-konsep awal yang dibuatnya. Salah satu contoh, catatan revisi yang dimunculkan adalah mengenai solidaritas organik dari Durkheim.  Dijelaskan bahwa meskipun sebuah sistem memiliki solidaritas organik yang kuat tetap membutuhkan common faith, yaitu sebuah kesadaran kolektif bahwa mereka tidak akan dipisahkkan oleh hubungan-hubungan antagonistik atau pun yang berorientasi individual.
Disebutkan Coser, bahwa dalam semua doktrinnya, Durkheim menolak intepretasi biologistik dan psikologistik. Durkheim memfokuskan perhatiannya pada determinan sosial-struktural dari masalah-masalah sosial. Fenomena sosial adalah ‘fakta sosial’ dan inilah yang menjadi subjek utama dari sosiologi. Mereka ini memiliki karakter sosial dan determinan spesifik yang tidak cukup dijelaskan dalam tataran biologis dan psikologis. Mereka berada diluar entitas biologis, mereka tetap hidup ketika seorang individu meninggal dan akan digantikan oleh yang lain. Mereka juga tidak semata berada di luar individu tetapi juga memiliki kekuatan memaksa (coercive power).
Fakta sosial didefinisikan sebagai ‘every way of acting, fixed or not, capable of exercising on the individual an external constraint.’ Meskipun pada awalnya Durkheim melihat fakta sosial melalui keberadaannya di luar individu dan posisinya yang seringkali menjadi kontrol (penghambat) seperti dapat dijumpai dalam sistem hukum, pada perkembangannya Durkheim melihat bahwa fakta sosial, khususnya aturan-aturan moral, menjadi panduan efektif dan kontrol tindakan yang bisa dinternalisasikan dalam kesadaran individu. Mengacu pada formulasi inilah, paksaan tidak lagi menjadi beban di luar kontrol individu, tetapi lebih merupakan semacam kewajiban moral untuk mematuhi aturan. Dalam hal inilah kemudian masyarakat adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan kita dan juga sesuatu yang berada di dalam diri kita sendiri (something beyond us and something in ourselves). Ada empat pemikiran utama Durkheim yang didiskusikan tersendiri oleh Coser yaitu konsep tentang individu dan masyarakat; sosiologi dan agama, sosiologi pengetahuan dan penjelasan fungsional.



   Individu dan Masyarakat
Sosiologi dan Agama
Sosiologi Pengetahuan

Penjelasan Fungsional
Masyarakat memberikan batas-batas pada keinginan individu dan membangun kekuatan regulatif yang berperan sebagai aturan moral. Dalam masyarakat yang diatur dengan baik, kontrol sosial memberikan batas-batas pada individu. Anomie merupakan terminologi yang mengacu pada sebuah kondisi ketiadaan norma dalam suatu masyarakat. Anomie ditandai dengan kondisi dimana keinginan-keinginan individu tidak lagi diatur oleh norma-norma yang berlaku secara umum sehingga berakibat pada hilangnya panduan moral bagi individu dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Fenomena religius bersifat komunal dan bukan individual. Agama merupakan sebuah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek mengenai sesuatu yang suci. Fenomena religius akan muncul dalam suatu masyarakat ketika terjadi pemisahan antara ruang yang profan (aktivitas keseharian) dengan ruang yang suci atau sakral (transenden). Aktivitas yang sakral atau suci tidak akan selamanya demikian, karena itu berkaitan dengan komunitas religius yang memang memaknainya sebagai bagian dari pemujaan. Agama tidak hanya kreasi sosial, tetapi juga ilahinya masyarakat
Komitmen religius seseorang dapat ditelusuri dari komitmen sosialnya.  Kategori-kategori pemikiran sesorang (cara dalam memahami ruang dan waktu) dapat ditelusuri dari mode of social lifenya. Klasifikasi ruang dan waktu memiliki asal usul sosial, hampir menyerupai organisasi sosial dalam kelompok masyarakat primitif. Sistem kepercayaan dan berpikir yang mendasari struktur sosial, memiliki relasi fungsional dengan agama.
Pendekatan fungsional untuk mengkaji fenomena sosial. Menjelaskan fakta sosial tidak cukup hanya menunjukan penyebabnya, tetapi juga harus menunjukan fungsinya pada keteraturan sosial. Kriminalitas sebagai sesuatu yang normal ketika memiliki fungsi sosial yang positif. Kriminalitas menjadi normal ketika tidak ada masyarakat yang  melakukannya sesuai yang diperintahkan. Deviasi dari norma-norma masyarakat diperlukan jika masyarakat terbuka dan fleksibel terhadap perubahan dan adaptasi baru.

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...