Mengenal Pemikiran
Durkheim Melalui Lewis A Coser
Lewis A Coser.1977. Master of Sociological Thought, Ideas in
Historical and Social Context. Second edition. New York. Harcourt Brave
Jovanovich, Inc.
Mengawali
pembacaan saya pada tulisan Coser, saya mencoba melihat potret besar Durkheim
yang digambarkan Coser. Karya Durkheim, sebagaimana disebut Coser adalah sebuah
master. Durkheim memberikan prinsip-prinsip dasar dalam analisis struktural
fungsional dalam sosiologi. Durkheim mengkritik metode psikologi dalam mengkaji
masyarakat dengan memperkenalkan konsep kunci mengenai anomi, integrasi sosial,
dan solidaritas organik. Semasa hidupnya, Durkheim bergelut dengan minatnya
terhadap isu-isu moral pada jamannya. Ia melihat isu-isu moral tersebut sebagai
tugasnya untuk berkontribusi pada regenerasi moral Perancis, dimana ia merasa
memiliki kelekatan yang sangat kuat. Dalam mencapai tujuannya inilah, Durkheim
tidak ingin melalui jalan pintas. Baginya, seorang ilmuwan sosial dapat
mengklaim campur tangannya dalam masyarakat hanya jika penyelidikan ilmiahnya
dapat memberikan hasil yang meyakinkan masyarakat. Ia ingin membangun ilmu
sosial yang bisa menjadi dasar dari tindakan masyarakat.
Selain gambaran mengenai sosoknya secara personal, Coser menampilkan konteks
intelektual yang berpangaruh pada pemikiran Durkheim, konteks sosial yang
menginspirasi karyanya, serta latarbelakang keluarganya. ‘The mature of
Durkheim’ atau ‘pemikiran Durkheim yang lebih dewasa’ adalah kekhasan yang
beberapa kali dimunculkan Coser untuk menunjukan bahwa Durkheim beberapa kali
mengubah konsep-konsep awal yang dibuatnya. Salah satu contoh, catatan revisi
yang dimunculkan adalah mengenai solidaritas organik dari Durkheim.
Dijelaskan bahwa meskipun sebuah sistem memiliki solidaritas organik yang kuat
tetap membutuhkan common faith, yaitu sebuah kesadaran kolektif bahwa
mereka tidak akan dipisahkkan oleh hubungan-hubungan antagonistik atau pun yang
berorientasi individual.
Disebutkan Coser, bahwa dalam semua doktrinnya,
Durkheim menolak intepretasi biologistik dan psikologistik. Durkheim
memfokuskan perhatiannya pada determinan sosial-struktural dari masalah-masalah
sosial. Fenomena sosial adalah ‘fakta sosial’ dan inilah yang menjadi subjek
utama dari sosiologi. Mereka ini memiliki karakter sosial dan determinan
spesifik yang tidak cukup dijelaskan dalam tataran biologis dan psikologis.
Mereka berada diluar entitas biologis, mereka tetap hidup ketika seorang individu
meninggal dan akan digantikan oleh yang lain. Mereka juga tidak semata berada
di luar individu tetapi juga memiliki kekuatan memaksa (coercive power).
Fakta sosial didefinisikan sebagai ‘every way of
acting, fixed or not, capable of exercising on the individual an external
constraint.’ Meskipun pada awalnya Durkheim melihat fakta sosial melalui
keberadaannya di luar individu dan posisinya yang seringkali menjadi kontrol
(penghambat) seperti dapat dijumpai dalam sistem hukum, pada perkembangannya
Durkheim melihat bahwa fakta sosial, khususnya aturan-aturan moral, menjadi
panduan efektif dan kontrol tindakan yang bisa dinternalisasikan dalam
kesadaran individu. Mengacu pada formulasi inilah, paksaan tidak lagi menjadi
beban di luar kontrol individu, tetapi lebih merupakan semacam kewajiban moral
untuk mematuhi aturan. Dalam hal inilah kemudian masyarakat adalah sesuatu yang
berada di luar jangkauan kita dan juga sesuatu yang berada di dalam diri kita
sendiri (something beyond us and something in ourselves). Ada empat
pemikiran utama Durkheim yang didiskusikan tersendiri oleh Coser yaitu konsep
tentang individu dan masyarakat; sosiologi dan agama, sosiologi pengetahuan dan
penjelasan fungsional.
Individu dan Masyarakat |
Sosiologi dan Agama
|
Sosiologi Pengetahuan
|
Penjelasan Fungsional
|
Masyarakat memberikan batas-batas pada
keinginan individu dan membangun kekuatan regulatif yang berperan sebagai
aturan moral. Dalam masyarakat yang diatur dengan baik, kontrol sosial
memberikan batas-batas pada individu. Anomie merupakan terminologi yang mengacu
pada sebuah kondisi ketiadaan norma dalam suatu masyarakat. Anomie ditandai
dengan kondisi dimana keinginan-keinginan individu tidak lagi diatur oleh
norma-norma yang berlaku secara umum sehingga berakibat pada hilangnya
panduan moral bagi individu dalam mencapai tujuan-tujuannya.
|
Fenomena religius bersifat komunal dan bukan individual.
Agama merupakan sebuah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek mengenai
sesuatu yang suci. Fenomena religius akan muncul dalam suatu masyarakat
ketika terjadi pemisahan antara ruang yang profan (aktivitas keseharian)
dengan ruang yang suci atau sakral (transenden). Aktivitas yang sakral atau
suci tidak akan selamanya demikian, karena itu berkaitan dengan komunitas
religius yang memang memaknainya sebagai bagian dari pemujaan. Agama tidak
hanya kreasi sosial, tetapi juga ilahinya masyarakat
|
Komitmen religius seseorang dapat
ditelusuri dari komitmen sosialnya.
Kategori-kategori pemikiran sesorang (cara dalam memahami ruang dan
waktu) dapat ditelusuri dari mode of social
lifenya. Klasifikasi ruang dan waktu memiliki asal usul sosial, hampir
menyerupai organisasi sosial dalam kelompok masyarakat primitif. Sistem
kepercayaan dan berpikir yang mendasari struktur sosial, memiliki relasi
fungsional dengan agama.
|
Pendekatan fungsional untuk mengkaji
fenomena sosial. Menjelaskan fakta sosial tidak cukup hanya menunjukan
penyebabnya, tetapi juga harus menunjukan fungsinya pada keteraturan sosial. Kriminalitas
sebagai sesuatu yang normal ketika memiliki fungsi sosial yang positif.
Kriminalitas menjadi normal ketika tidak ada masyarakat yang melakukannya sesuai yang diperintahkan.
Deviasi dari norma-norma masyarakat diperlukan jika masyarakat terbuka dan
fleksibel terhadap perubahan dan adaptasi baru.
|
No comments:
Post a Comment