Ilmuwan
dan Ilmu Sosial di Indonesia
Asia Tenggara dikatakan Visser
dan Nordholt (1997) merupakan kawasan di dunia yang mengalami perubahan paling
cepat. Sepanjang 30 tahun terakhir, proses modernisasi secara revolusioner
telah direkayasa oleh para pengatur negara. Dalam konteks desain kebijakan
pembangunan di Asia Tenggara, ilmu sosial sering merupakan sarana negara untuk
mengemukakan masalah tertentu yang berkaitan dengan dengan kondisi sosial,
budaya, ekonomi dan politik yang bisa merupakan penunjang atau kendala bagi
kemajuan. Ilmu sosial menjadi ilmu negara, berbagi dengan ilmu alam. Namun
dikatakan Visser dan Nordholt, bahwa ilmu sosial berbeda karena konsep dan
teorinya memiliki daya legimitasi dan mendeligitimasi kaitannya dengan negara. Berkaitan
dengan potensi legitimasi dan mendelegitimasi ini, ilmu sosial berkaitan dengan
sifat reflektifnya yaitu bahwa apa yang terjadi di dalam masyarakat akan
direfleksikan di dalam teori-teori ilmu sosial. Restrukturisasi lembaga-lembaga
sosial dan reorientasi nlai-nilai budaya dapat dipermudah atau sebaliknya dapat
dihambat oleh teori-teori ilmu sosial.
Daya legitimasi dan
mendelegitimasi yang dimiliki ilmu sosial, adalah kapasitas yang dimiliki ilmu
sosial dalam hubungannya dengan negara. Namun ketika dihubungkan dengan
masyarakat, maka ilmu sosial lebih mengarah pada tujuan akhirnya pada tindakan,
ilmu sosial lebih ke sifatnya sebagai ilmu instrumental dan ilmu kritis.
Gb. 1. Hubungan Ilmu Sosial dengan Masyarakat
Sumber: Kleden, 1997:29
Berkaitan dengan ilmu sosial, ada yang perlu
diperhatikan secara mendalam kaitannya dengan sosok seorang ilmuwan itu sendiri
dan ilmu sosial yang melekat sebagai bidang keahliannya. Kleden (1997) menyebut
bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan etos atau nilai ilmuwan sosial sangat
berbeda dengan praktik akademik atau praktik ilmiah yang dilakukannya. Terdapat
4 kriteria yang digunakan untuk melihat ini yaitu: tuntutan keabsahan ilmu
sosial, aksesibilitas ilmu sosial, alasan etis ilmuwan sosial dalam menuntut
ilmu dan sikap ilmuwan terhadap rekan-rekan sosial sendiri.
Gb. 2. Kriteria Pokok Ilmu Sosial
Pertama
berkaitan dengan keabsahan, kecenderungan partikularisme lebih besar
dibandingkan dengan universalisme. Kecenderungan ini sebagian disebabkan oleh
alasan politik atau keyakinan bahwa masalah-masalah sosial di suatu negeri tidak
dapat dipecahkan dengan menggunakan sarana-sarana ilmu sosial yang dibakukan
oleh komunitas akademis, melainkan harus dipecahkan dengan sarana-sarana lain
yang lebih sesuai dengan kekhususan historis kultural dan lokalitas
sosio-geografis. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya,
kecenderungan untuk memasukan teori-teori ilmu sosial ke dalam masalah-masalah
sosial di Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan kecenderungan untuk
mengintegrasikan masalah-masalah sosial di Indonesia dalam teori-teori sosial. Aplikasi
teoritis yang merupakan suatu langkah dalam seluruh proses pembangunan teori
telah dipisahkan dari proses itu dan dijadikan suatu urusan tersendiri.
Teori-teori ilmu sosial dipandang semata-mata sebagai masukan-masukan untuk
diinduksikan dalam praktik penelitian dan tidak pernah merupakan hasil darinya.
Kedua
berkaitan dengan aksesibilitas, terdapat kecenderungan nonkomunalitas lebih
besar dibandingkan komunalitas. Nonkomunalitas dalam hal ini adalah
kecenderungan untuk menyimpan temuan-temuan penelitian hanya digunakan untuk
kepentingan sendiri atau kalangan terbatas, sehingga anggota komunitas
ilmusosial lainnya tidak mendapat akses dari temuan-temuan tersebut. akibatnya
sedikit saja terjadi diskusi tentang temuan-temuan itu, khususnya tanggapan
atau kritik dari kelompok sesama yang sangat kecil. Dalam komunitas ilmu sosial
yang terbuka (berlaku prinsip komunalitas), hasil-hasil temuan cenderung
merangsang temuan dan diskusi selanjutnya menuju ke arah timbulnya
konsepsi-konsepsi baru. Dalam komunitas ilmu sosial tertutup, hasil-hasil
temuan dijauhkan dari penilaian kelompok sesama (kecil kesempatan untuk
mengkaji mutu dan keabsahannya dan tidak ada tukar pikiran produktif yang
biasanya merupakan pendorong sehingga ilmu sosial tetap hidup. Dalam kasus
Indonesia, situasi ini dapat dijelaskan dari sudut besarnya peran pemerintah
dalam mengatur dan membiayai penelitian sosial sehingga mengakibatkan sebagian
besar temuan hasil penelitian dikontrol oleh kantor pemerintah dan walaupun
tidak ada larangan resmi bagi orang lain untuk menggunakannya temuan-temuan
tersebut, akses terhadapnya tidak selalu mudah. Hal ini mudah saja dilihat
misalnya dari data di Kantor Badan Pusat Statistik. Data-data yang
seharusnya bisa diakses secara bebas, pada kenyataanya tidak demikian. Publik
harus mengeluarkan dana pribadi untuk bisa memperoleh akses terhadap data-data
statistik tertentu. Kondisi ini yang sangat memprihatinkan mengingat
lembaga-lembaga ini telah digelontorkan dana yang tidak sedikit dan merupakan
lembaga yang sebenarnya sudah mendapat penugasan untuk menyediakan data kepada
publik. Berbagai kontrol terhadap penggunaan data yang diproduksi oleh
lembaga pemerintah ini juga dapat dicermati dari adanya standar birokrasi yang
sangat rumit ketika mengajukan permohonan izin akses. Formalitas dan jalur
birokrasi ini seakan menjadi screening
awal yang tak jarang terlalu melelahkan untuk ditembus sehingga bagaimana
kesempatan pengembangan keilmuan bisa secara bebas dan produktif bisa dilakukan
dalam lingkungan yang terkekang serupa ini.
Ketiga
berkaitan dengan alasan etis (kepedulian), terjadi kecenderungan menurunnya
atau hilangnya otonomi ilmu sosial sehingga pelaksanaan penelitian sosial
semakin bergantung pada tujuan-tujuan nonakademis, baik yang bersifat politis,
komersial, atau ekonomis. Tidak terlalu bisa diharapkan bahwa ilmuwan sosial
akan selalu menggunakan sumber-sumber keuangan mereka sendiri guna menunjang
kegiatan mereka. Kondisi negosiasi yang tidak seimbang antara ilmuwan sosial
dan pihak sponsor (pemberi dana), membuat ilmuwan sosial harus mengabdikan
dirinya kepada tujuan sponsor itu. Dalam hal ini, ilmu sosial tereduksi menjadi
ilmu teknis yang tunduk dengan tujuan yang berada di luar tujuannya sendiri.
Kepentingan-kepentingan dari luar ini dalam kasus Indonesia dapat
dikategorikan: 1) pembangunan ekonomi yang mengharapkan ilmuwan sosial sebagai
perekayasa sosial yang setia; 2) kekuasaan politik yang memandang ilmuwan
sosial sebagai pengacara yang harus memberikan hasil-hasil temuan demi
pengesahan kebijakan-kebijakannya; 3) pembangunan teknologi yang cenderung
memandang rendah ilmu sosial sebagai kritik yang tidak berdaya baginya; 4)
kepongahan budaya etnosentris yang mendapatkan hiburannya di dalam ilmu sosial
untuk memperoleh kepuasan sendiri.
Keempat
berkaitan dengan sikap ilmuwan sosial terhadap rekan sosialnya, muncul apa yang
disebut sikap fleksibilitas yang digeneralisasi yaitu kecenderungan memaafkan
atau mengabaikan kekurangan atau kesalahan yang ada pada hasil kerja ilmuwan
sosial lain, maupun kecenderungan untuk mengabaikan penghargaan yang sepadan
terhadap apa yang telah dilakukan oleh sesama ilmuwan. Terdapat penyamaan
secara tak sadar terhadap kesalahan-kesalahan teoritis dan praktis. Suatu cara
untuk memperkecil kesalahan teoritis dengan mengembalikannya pada alasan-alasan
praktis semata-mata. Dalam hal ini, orang cenderung untuk menjelaskan kurangnya
mutu penelitian dari sudut kurangnya dana dan kurangnya waktu. Fleksibilitas
yang digeneralisasi merupakan konsep yang berkebalikan dengan skeptisisme yang
diorganisasi yaitu pertanggungjawaban para anggota komunitas ilmu sosial untuk
mengemukakan pendapat mereka mengenai penunaian kerja rekan-rekan kerja mereka
dalam bentuk tanggapan dan kritik serta menerbitkan evaluasi mereka. Penilaian
semacam ini masih dianggap langka bagi komunitas ilmu sosial di Indonesia. Hal
ini dimungkinkan karena perdebatan, polemik, atau diskusi terbuka, dipandang
tidak layak secara estetis karena dapat mengganggu kerukunan politik dan saling
pengertian sosial. Oleh karena itulah, ilmuwan sosial lebih suka menyembunyikan
pendapat mereka dengan akibat tidak adanya perdebatan yang berkesinambungan dan
tidak adanya diskusi mengenai masalah sosial.
Dwi Wulan Pujiriyani (SPD/2015)
-Diambil dari Chapter Tugas ke-2 makalah Epistema/Filsafat Ilmu Sosial-
Sumber pustaka:
Nordhlot, Schulte dan Leontine E Visser. 1997.
“Refleksi tentang Konstruksi Pengetahuan di Asia Tenggara”. Dalam Nordhlot,
Schulte dan Leontine E Visser.(ed) 1997. Ilmu
Sosial di Asia Tenggara Dari Partikularisme ke Universalisme. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia.
Kleden,Ignas. 1997.“Ilmu Sosial di Indonesia Tindakan dan
Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara”. Dalam Nordhlot, Schulte dan Leontine
E Visser.(ed) 1997. Ilmu Sosial di Asia
Tenggara Dari Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia.
No comments:
Post a Comment