Wednesday, December 16, 2015

Ilmuwan dan Ilmu Sosial di Indonesia



Ilmuwan dan Ilmu Sosial di Indonesia



Asia Tenggara dikatakan Visser dan Nordholt (1997) merupakan kawasan di dunia yang mengalami perubahan paling cepat. Sepanjang 30 tahun terakhir, proses modernisasi secara revolusioner telah direkayasa oleh para pengatur negara. Dalam konteks desain kebijakan pembangunan di Asia Tenggara, ilmu sosial sering merupakan sarana negara untuk mengemukakan masalah tertentu yang berkaitan dengan dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik yang bisa merupakan penunjang atau kendala bagi kemajuan. Ilmu sosial menjadi ilmu negara, berbagi dengan ilmu alam. Namun dikatakan Visser dan Nordholt, bahwa ilmu sosial berbeda karena konsep dan teorinya memiliki daya legimitasi dan mendeligitimasi kaitannya dengan negara. Berkaitan dengan potensi legitimasi dan mendelegitimasi ini, ilmu sosial berkaitan dengan sifat reflektifnya yaitu bahwa apa yang terjadi di dalam masyarakat akan direfleksikan di dalam teori-teori ilmu sosial. Restrukturisasi lembaga-lembaga sosial dan reorientasi nlai-nilai budaya dapat dipermudah atau sebaliknya dapat dihambat oleh teori-teori ilmu sosial.
Daya legitimasi dan mendelegitimasi yang dimiliki ilmu sosial, adalah kapasitas yang dimiliki ilmu sosial dalam hubungannya dengan negara. Namun ketika dihubungkan dengan masyarakat, maka ilmu sosial lebih mengarah pada tujuan akhirnya pada tindakan, ilmu sosial lebih ke sifatnya sebagai ilmu instrumental dan ilmu kritis.

Gb. 1. Hubungan Ilmu Sosial dengan Masyarakat








                                                                       Sumber: Kleden, 1997:29



Berkaitan dengan ilmu sosial, ada yang perlu diperhatikan secara mendalam kaitannya dengan sosok seorang ilmuwan itu sendiri dan ilmu sosial yang melekat sebagai bidang keahliannya. Kleden (1997) menyebut bahwa di Indonesia terdapat kecenderungan etos atau nilai ilmuwan sosial sangat berbeda dengan praktik akademik atau praktik ilmiah yang dilakukannya. Terdapat 4 kriteria yang digunakan untuk melihat ini yaitu: tuntutan keabsahan ilmu sosial, aksesibilitas ilmu sosial, alasan etis ilmuwan sosial dalam menuntut ilmu dan sikap ilmuwan terhadap rekan-rekan sosial sendiri.
 
Gb. 2. Kriteria Pokok Ilmu Sosial



         Pertama berkaitan dengan keabsahan, kecenderungan partikularisme lebih besar dibandingkan dengan universalisme. Kecenderungan ini sebagian disebabkan oleh alasan politik atau keyakinan bahwa masalah-masalah sosial di suatu negeri tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan sarana-sarana ilmu sosial yang dibakukan oleh komunitas akademis, melainkan harus dipecahkan dengan sarana-sarana lain yang lebih sesuai dengan kekhususan historis kultural dan lokalitas sosio-geografis. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, kecenderungan untuk memasukan teori-teori ilmu sosial ke dalam masalah-masalah sosial di Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan kecenderungan untuk mengintegrasikan masalah-masalah sosial di Indonesia dalam teori-teori sosial. Aplikasi teoritis yang merupakan suatu langkah dalam seluruh proses pembangunan teori telah dipisahkan dari proses itu dan dijadikan suatu urusan tersendiri. Teori-teori ilmu sosial dipandang semata-mata sebagai masukan-masukan untuk diinduksikan dalam praktik penelitian dan tidak pernah merupakan hasil darinya.
       Kedua berkaitan dengan aksesibilitas, terdapat kecenderungan nonkomunalitas lebih besar dibandingkan komunalitas. Nonkomunalitas dalam hal ini adalah kecenderungan untuk menyimpan temuan-temuan penelitian hanya digunakan untuk kepentingan sendiri atau kalangan terbatas, sehingga anggota komunitas ilmusosial lainnya tidak mendapat akses dari temuan-temuan tersebut. akibatnya sedikit saja terjadi diskusi tentang temuan-temuan itu, khususnya tanggapan atau kritik dari kelompok sesama yang sangat kecil. Dalam komunitas ilmu sosial yang terbuka (berlaku prinsip komunalitas), hasil-hasil temuan cenderung merangsang temuan dan diskusi selanjutnya menuju ke arah timbulnya konsepsi-konsepsi baru. Dalam komunitas ilmu sosial tertutup, hasil-hasil temuan dijauhkan dari penilaian kelompok sesama (kecil kesempatan untuk mengkaji mutu dan keabsahannya dan tidak ada tukar pikiran produktif yang biasanya merupakan pendorong sehingga ilmu sosial tetap hidup. Dalam kasus Indonesia, situasi ini dapat dijelaskan dari sudut besarnya peran pemerintah dalam mengatur dan membiayai penelitian sosial sehingga mengakibatkan sebagian besar temuan hasil penelitian dikontrol oleh kantor pemerintah dan walaupun tidak ada larangan resmi bagi orang lain untuk menggunakannya temuan-temuan tersebut, akses terhadapnya tidak selalu mudah. Hal ini mudah saja dilihat misalnya dari data di Kantor Badan Pusat Statistik. Data-data yang seharusnya bisa diakses secara bebas, pada kenyataanya tidak demikian. Publik harus mengeluarkan dana pribadi untuk bisa memperoleh akses terhadap data-data statistik tertentu. Kondisi ini yang sangat memprihatinkan mengingat lembaga-lembaga ini telah digelontorkan dana yang tidak sedikit dan merupakan lembaga yang sebenarnya sudah mendapat penugasan untuk menyediakan data kepada publik. Berbagai kontrol terhadap penggunaan data yang diproduksi oleh lembaga pemerintah ini juga dapat dicermati dari adanya standar birokrasi yang sangat rumit ketika mengajukan permohonan izin akses. Formalitas dan jalur birokrasi ini seakan menjadi screening awal yang tak jarang terlalu melelahkan untuk ditembus sehingga bagaimana kesempatan pengembangan keilmuan bisa secara bebas dan produktif bisa dilakukan dalam lingkungan yang terkekang serupa ini.
             Ketiga berkaitan dengan alasan etis (kepedulian), terjadi kecenderungan menurunnya atau hilangnya otonomi ilmu sosial sehingga pelaksanaan penelitian sosial semakin bergantung pada tujuan-tujuan nonakademis, baik yang bersifat politis, komersial, atau ekonomis. Tidak terlalu bisa diharapkan bahwa ilmuwan sosial akan selalu menggunakan sumber-sumber keuangan mereka sendiri guna menunjang kegiatan mereka. Kondisi negosiasi yang tidak seimbang antara ilmuwan sosial dan pihak sponsor (pemberi dana), membuat ilmuwan sosial harus mengabdikan dirinya kepada tujuan sponsor itu. Dalam hal ini, ilmu sosial tereduksi menjadi ilmu teknis yang tunduk dengan tujuan yang berada di luar tujuannya sendiri. Kepentingan-kepentingan dari luar ini dalam kasus Indonesia dapat dikategorikan: 1) pembangunan ekonomi yang mengharapkan ilmuwan sosial sebagai perekayasa sosial yang setia; 2) kekuasaan politik yang memandang ilmuwan sosial sebagai pengacara yang harus memberikan hasil-hasil temuan demi pengesahan kebijakan-kebijakannya; 3) pembangunan teknologi yang cenderung memandang rendah ilmu sosial sebagai kritik yang tidak berdaya baginya; 4) kepongahan budaya etnosentris yang mendapatkan hiburannya di dalam ilmu sosial untuk memperoleh kepuasan sendiri.
             Keempat berkaitan dengan sikap ilmuwan sosial terhadap rekan sosialnya, muncul apa yang disebut sikap fleksibilitas yang digeneralisasi yaitu kecenderungan memaafkan atau mengabaikan kekurangan atau kesalahan yang ada pada hasil kerja ilmuwan sosial lain, maupun kecenderungan untuk mengabaikan penghargaan yang sepadan terhadap apa yang telah dilakukan oleh sesama ilmuwan. Terdapat penyamaan secara tak sadar terhadap kesalahan-kesalahan teoritis dan praktis. Suatu cara untuk memperkecil kesalahan teoritis dengan mengembalikannya pada alasan-alasan praktis semata-mata. Dalam hal ini, orang cenderung untuk menjelaskan kurangnya mutu penelitian dari sudut kurangnya dana dan kurangnya waktu. Fleksibilitas yang digeneralisasi merupakan konsep yang berkebalikan dengan skeptisisme yang diorganisasi yaitu pertanggungjawaban para anggota komunitas ilmu sosial untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai penunaian kerja rekan-rekan kerja mereka dalam bentuk tanggapan dan kritik serta menerbitkan evaluasi mereka. Penilaian semacam ini masih dianggap langka bagi komunitas ilmu sosial di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena perdebatan, polemik, atau diskusi terbuka, dipandang tidak layak secara estetis karena dapat mengganggu kerukunan politik dan saling pengertian sosial. Oleh karena itulah, ilmuwan sosial lebih suka menyembunyikan pendapat mereka dengan akibat tidak adanya perdebatan yang berkesinambungan dan tidak adanya diskusi mengenai masalah sosial.

Dwi Wulan Pujiriyani (SPD/2015)
-Diambil dari Chapter Tugas ke-2 makalah Epistema/Filsafat Ilmu Sosial-

Sumber pustaka:

Nordhlot, Schulte dan Leontine E Visser. 1997. “Refleksi tentang Konstruksi Pengetahuan di Asia Tenggara”. Dalam Nordhlot, Schulte dan Leontine E Visser.(ed) 1997. Ilmu Sosial di Asia Tenggara Dari Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Kleden,Ignas. 1997.“Ilmu Sosial di Indonesia Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara”. Dalam Nordhlot, Schulte dan Leontine E Visser.(ed) 1997. Ilmu Sosial di Asia Tenggara Dari Partikularisme ke Universalisme. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.


No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...