Wednesday, December 23, 2015

Pengembangan Masyarakat




Dari Community Participation ke Stakeholders Participation:
Menemukan Perspektif Baru dalam Pengembangan Masyarakat


Fredian Tonny Nasdian. 2014. Pengembangan Masyarakat. Bogor: Departeman SKPM IPB;
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia





‘Pengembangan masyarakat’ merupakan tema yang disoroti oleh penulis buku ini yang secara tidak langsung menegaskan kembali bahwa upaya pengintegrasian masyarakat sebagai komponen yang utuh dalam sebuah sistem pembangunan bukanlah sebuah proses yang bisa sekali jadi.[1] Proses pengembangan masyarakat adalah proses yang panjang dan terus menerus diperbarui baik dalam tataran konseptual maupun praksisnya. Tidak ada atau belum ada format baku yang bisa dikatakan benar-benar ideal untuk bisa menjawab persoalan pengintegrasian masyarakat yang menjadi bagian dari mereka yang seringkali dimarjinalkan oleh sebuah desain atau sistem yang disebut dengan ‘pembangunan’. Ife (2008:xiii) mengingatkan kembali bahwa pengembangan masyarakat adalah bagian dari upaya pemenuhan prasyarat mendasar dalam peradaban manusia yaitu kebutuhan manusia untuk dapat hidup secara harmonis dengan lingkungannya serta kebutuhan manusia untuk dapat hidup harmonis dengan sesama manusia.[2] Kedua hal ini merupakan esensi dari capaian dan manfaat masyarakat modern. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi yang nyata terjadi adalah ketidaksanggupan orde dominan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini.
Pembangunan sering dianggap sebagai ‘obat’ terhadap berbagai masalah yang muncul dalam masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Pada kenyataannya berbagai pendekatan pembangunan ternyata tidak cukup akurat secara empiris, tidak mencukupi secara terori dan tidak efektif dari segi kebijaksanaannya. Ada enam pendekatan pembangunan yang dipakai penulis untuk menggambarkan hal ini yaitu: (1) pendekatan pertumbuhan (growth approach); 2) pendekatan pertumbuhan dan pemerataan (redistribution of growth approach); 3) paradigma ketergantungan (dependence paradigm); 4) pendekatan tata ekonomi internasional (the new internasional economic order); 5) pendekatan kebutuhan pokok (the basic needs approach), dan 6) pendekatan kemandirian (the self reliance approach). Logika yang dominan dipakai dari pendekatan-pendekatan pembangunan tersebut adalah logika produksi dan sasaran dominannya yang berpuisat pada produksi. Nilai, sistem, dan metodenya disesuaikan dengan eksploitasi dan manipulasi sumberdaya alam untuk menghasilkan produksi bagi masyarakat konsumen massal. Logika ini menciptakan birokrasi-birokrasi besar yang mengorganisasi masyarakat ke dalam unit-unit produksi yang dikontrol secara terpusat dan bersifat sentralistis. Dampaknya adalah kebijakan pembangunan sangat berpihak terhadap konsumen, penduduk kelas menengah perkotaan dan meminggirkan para produsen yang sekaligus setengah konsumen, yakni masyarakat yang terpinggirkan (hlm 19). Kondisi serupa ini, pada akhirnya memperlihatkan betapa upaya terbaik dalam kebijakan pembangunan, ternyata hanya menambah parah persoalan-persoalan yang sedang dipecahkan. Oleh karena itulah dibutuhkan paradigma pembangunan yang baru yang meninggalkan paradigma pembangunan untuk konsumen atau production centered development menjadi people centered development dimana masyarakat bukan semata sebagai subjek, melainkan juga sebagai ‘aktor’ yang mengendalikan sumberdaya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. 



 www.mediawarga.info


Tentu saja pergeseran paradigma pembangunan yang dimunculkan penulis ini bukanlah satu hal yang baru. Dalam konteks inilah, penulis memunculkan berbagai batasan atau pendefinsian konsep ‘pengembangan masyarakat’. Konsep dasar dari ‘pengembangan masyarakat’ disebutkan sebagai konsep dasar yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang digunakan sejak lama seperti: community resource development, rural area development, community economic development, rural revitalisation, dan community based development. Community development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community, bermakna kualitas hubungan sosial dan development, perubahan ke arah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual. Tidak dijumpai satu batasan atau definisi spesifik yang digunakan penulis untuk mendefenisikan konsep ‘pengembangan masyarakat’. Namun yang cukup menarik dari beberapa definisi tersebut adalah konsep yang diambil dari Sanders (1985) dimana ‘pengembangan masyarakat’ dapat dipandang sebagai: suatu proses, metode, program, atau gerakan. Sebagai sebuah ‘proses’, pengembangan masyarakat merupakan proses bergerak dalam tahapan-tahapan, dari suatu kondisi atau keadaan tertentu ke tahap-tahap berikutnya, yakni mencakup kemajuan dan perubahan dalam artian kriteria terspesifikasi. Sebagai suatu ‘metode’, pengembangan masyarakat merupakan satu cara untuk mencapai tujuan dengan cara sedemikian rupa sehingga tujuan dapat dicapai. Sebagai suatu ‘proses’, pengembangan masyarakat dinyatakan sebagai suatu gugus prosedur dan isinya dinyatakan sebagai suatu daftar kegiatan. Dengan menjalankan prosedur, kegiatan-kegiatan dianggap dilaksanakan. Sebagai suatu ‘gerakan’, pengembangan masyarakat merupakan suatu perjuangan sehingga ini menjadi alasan yang membuat orang-orang mengabdi.
Berkaitan dengan pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses swadaya masyarakat yang diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik dan kultural serta mensinergikan gerakan untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa, penulis menghadirkan menekankan beberapa hal yang disebut sebagai metode atau pendekatan yaitu: adanya proses pemberdayaan, partisipasi dan peranan langsung warga komunitas dalam perspektof pembangunan di tingkat komunitas dan antarkomunitas. Mengenai ‘pemberdayaan’, secara spesifik disebutkan bahwa pemberdayaan merupakan the missing ingredients dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumberdaya yang penting. Pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Power yang dimiliki masyarakat berpengaruh pada kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program.
Upaya pengembangan masyarakat (community development) pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan warga komunitas. Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok-kelompok sosial). Dalam kasus Indonesia yang lekat dengan kesenjangan ekonomi, dengan mengacu pada Friedman (1993), penulis mengungkapkan bahwa kemampuan individu ‘senasib’ untuk mengorganisir diri dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif di tingkat komunitas (collective self-empowerment). Melalui kelompok akan terjadi suatu dialogical encounter yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok. Anggota kelompok menumbuhkan identitas seragam dan mengenali kepentingan bersama. Melalui kehidupan kelompok, masing-masing individu belajar untuk menganalisas secara ‘kritis’ situasi total mereka (kelompok dan komunitasnya) termasuk dimensi politiknya dan berusaha ‘memperoleh kembali’ daya untuk mengubah situasi tersebut. Proses ini merupakan proses stimulasi dari self-critical awareness manusia akan realitas sosialnya serta menekankan pada kemampuan (daya atau kuasa) yang dimilikinya untuk mentransformasikan realitas tersebut melalui aksi kolektif mereka dengan sadar. Dalam konteks inilah digarisbawahi mengenai pentingnya peran community workers sebagai pendamping proses. Pendamping dalam hal ini tidak berfungsi sebagai orang yang mengajari atau menggurui individu dalam kelompok, tetapi berfungsi sebagai orang yang belajar dari kelompok. Pendamping hanya berfungsi sebagai stimulator atau pemicu diskusi. Ia harus bersikap netral dan tidak berhak mencampuri keputusan dari hasil diskusi.

-Dwi Wulan Pujiriyani-


[1]Fredian, penulis buku ini adalah seorang sosiolog yang jika ditelusuri latarbelakang pendidikan akademisnya memiliki ketertarikan pada bidang sosiologi pedesaan dan studi-studi pembangunan sosial. ‘Pengembangan masyarakat’ adalah tema yang diangkat dalam buku ini untuk menghadirkan proses-proses pengembangan masyarakat yang diharapkan dari sisi akademis dapat memberikan pemahaman untuk bisa membangun, mengembangkan dan mengkritisi konsep-konsep dan kerangka teoritis pengembangan masyarakat.
[2] Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Friday, December 18, 2015

Pemuda Tani dan Krisis Agraria



Back to the Land: Pemuda Tani dan Krisis Agraria

Ayodele, Joseph dan Michael Mortimore. 2012. “Youth Farming and Nigeria's Development Dilemma: The Shonga              Experiment. IDS Buletin. Volume 43, Number 6 November 2012, hal 58-66.
 

 http://www.empowernigeria.com


Penelitian ini berangkat dari konteks pembangunan di Nigeria yang menghadapi tantangan besar berkaitan dengan pertumbuhan populasi yang begitu cepat (lebih dari 140 juta), semakin sulitnya perluasan tanah pertanian, urbanisasi, dan dinamika pasar internal. Penelitian ini mengangkat persoalan yang terjadi di negara bagian Kwara (Kwara State) yang berada di Nigeria bagian tengah. Penelitian ini berupaya mengidentifikasi munculnya 'kesenjangan generasi' (generation gap) dalam konteks ketenagakerjaan di pedesaan dan memunculkan pertanyaan apakah petani muda merupakan kandidat yang cukup layak untuk melanjutkan tanggungjawab memenuhi kebutuhan generasi di masa mendatang.  Saat ini Nigeria sedang mengalami puncak dari krisis agraria (cusp of an agrarian crisis) karena telah gagal menciptakan modernisasi pertanian dan mengurangi eksodusnya tenaga kerja pedesaan ke kota-kota besar.
Hasil penelitian menunjukan bahwa intervensi program pemerintah yang ditargetkan untuk orang-orang muda melalui program 'back to the land', sebagian besar kelompok muda yang menjadi target tidak mengerjakan tanah yang diberikan kepada mereka. Sebagian petani dan mereka yang bukan petani justru memperoleh tanah ini dan menjualnya kembali kepada orang-orang di luar wilayah Kwara. Pada tahun pertama program 'back to the land' menunjukan hasil yang sangat buruk. Kebanyakan dari 300 petani muda yang menjadi kelompok target program, tidak pernah bertani sebelumnya atau sudah lama tidak bertani sehingga tidak mengherankan kalau mereka tidak merespon skema program yang diberikan pemerntah ini. Program pemberdayaan orang muda yang baru pun diberikan melalui pelatihan komersialisasi pertanian. Setelah memperoleh pelatihan ini, orang muda diharapkan dapat menjadi penopang komersialisasi pertanian di negara ini, namun program ini pun belum sepenuhnya selesai diselenggarakan.
Penelitian ini juga menunjukan bahwa aspek keuangan merupakan hambatan utama bagi petani muda dan meskipun sudah mendapatkan pendampingan administrasi, petani-petani muda ini tetap mengalami kesulitan dalam memperoleh pinjaman. Hampir 300 orang muda yang dilatih dalam program pemberdayaan orang muda, tidak menikmati dukungan (baik tanah maupun kredit) yang dijanjikan oleh negara. Model komunitas pertanian komersial di Shonga tidak berjalan. Dari 1200 tanah yang disiapkan untuk program ini, tidak ada satu hektar pun tanah yang pada akhirnya dialokasikan. Hal ini terjadi karena tidak ada perangkat di tingkat lokal yang mendukung implementasi program ini.


http://developmentdiaries.com

Kwara telah mencoba untuk mengembangkan pertanian komersial melalui 3 model. Pertama dan yang terbaru adalah dengan subsidi model pertanian skala luas di Shonga yang juga direplikasi di beberapa wilayah ini. Model kedua adalah dengan memberikan pelatihan pada orang-orang muda dan memberdayakan mereka dengan memberikan dukungan komersial berupa tanah dan pelatihan oleh petani-petani komersial. Ketiga adalah model lama dengan memberikan insentif (subsidi input) untuk petani dan membiarkan mereka mengembangkan pertaniannya sendiri. Di Shonga ini dilakukan dengan beberapa model transfer teknologi seperti adopsi pertanian kedelai oleh petani dan metode peternakan sapi untuk mengganti penggembalaan sapi yang selama ini dilakukan.
Pada kenyataannya petani muda kurang mampu diandalkan untuk mengatasi dilema kebijakan yang dialami Nigeria tanpa dukungan yang politik ekonomi yang kuat dari negara. Tidak semata 3 model yang saling berkontestasi tetapi juga berkaitan dengan kepentingan politis. Orang-orang muda ini menunjukan kinerja yang tidak menggembirakan dalam konteks pembangunan pedesaan. Terdapat paradoks yang tajam dalam perilaku anak-anak muda Nigeria yang di satu sisi melihat pertanian sebagai sesuatu yang hina (disdainful) sementara di sisi lain juga muncul antusiasme dalam kegiatan kewirausahaan. Perbincangan informal menunjukan bahwa sebagian anak-anak muda yang diantaranya juga merupakan lulusan pertanian ini ingin bekerja di belakang meja dan bukan menjadi petani. Dalam hal inilah diperlukan evaluasi untuk menempatkan kewirausahaan dalam pelatihan pertanian. Bagi lulusan muda yang belum berpengalaman ini, sulit untuk memberikan gambaran tentang seorang petani wirausaha itu sangat absurd.

-Dwi Wulan Pujiriyani-

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...