Desa Mau Dibawa Kemana?: Transformasi Sosial Masyarakat
Desa di Indonesia
dalam Epistemologi Durkheimian
Tranformasi
masyarakat desa-desa di Indonesia dengan mengacu pada epistemologi Durkheim
dengan jelas menunjukan transformasi ke arah masyarakat desa modern.
Transformasi ini dimulai dari pembagian kerja yang semakin mengubah bentuk
masyarakat desa menjadi tidak homogen lagi. Masyarakat desa-desa di Indonesia,
bukan lagi masyarakat romantik yang dicirikan dengan cangkul dan
kerbaunya, tetapi sudah sangat dinamis dengan berbagai peluang pekerjaan non
pertanian yang sudah mereka tekuni. Desa bukan lagi sebuah pemandangan tunggal
dimana setiap hari akan melihat rombongan petani yang berjalan kaki menuju ke
sawahnya masing-masing. Petani modern atau petani berdasi adalah gambaran nyata
desa-desa di Indonesia, dimana kelas-kelas pemilik tanah mempekerjakan
penggarap di tanah mereka. Mereka ini tidak lagi turun langsung di sawah tetapi sudah ibarat akuntan yang berhitung di belakang meja. Peran utama mereka
adalah melakukan lobi-lobi ataupun negosiasi antara sesama pedagang besar.
Dapat dilihat juga bahwa jual beli hasil pertanian tidak lagi hanya berlangsung
di pasar-pasar tradisional, tetapi sudah dilakukan dengan berbasis
website.
Hal
selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah terjadinya ‘economic anomie’.
Dalam arah perkembangannya yang demikian cepat, tidak dapat dipungkiri bahwa
akan ada mereka-mereka yang tidak ambil bagian dalam perubahan yang cepat
tersebut. Sebagaimana dijelaskan Durkheim bahwa sifat hubungan antarindividu
yang semakin kontraktual, menafikan keberadaan ikatan-ikatan komunal. Tidak ada
lagi kegotongroyongan, yang adalah hubungan-hubungan yang bersifat
transaksional. Kondisi serupa ini jelas mengganggu harmonisasi atau yang oleh
Durkheim menyebabkan terjadinya konflik atau krisis. Ketika hubungan produksi
dan konsumsi tidak lagi seimbang, ketika para penggarap tidak lagi bisa
mengimajinasikan sebuah kesejahteraan dalam hidup mereka.
Dalam hal inilah yang penting untuk dilakukan dalam mengawal transformasi
masyarakat desa adalah menyiapkan kelembagaan sosial yang memastikan masyarakat
tetap memelihara kesadaran kolektifnya. Lembaga-lembaga non-ekonomi seperti
yang disebutkan Durkheim dengan keluarga, sekolah dan institusi politik harus
dilibatkan untuk meminimalisir perbedaan dalam masyarakat menjadi fair society.
Masyarakat bisa memperoleh manfaat dari ekonomi yang ada. Aturan hukum dan
moral juga perlu ditegakkan untuk memastikan bahwa hubungan yang bersifat
kontraktual bisa berjalan secara efektif. Masing-masing pihak menghormati
negosiasi yang dilakukan dan berkomitmen pada spesialisasi yang telah dimiliki.
Pembuatan
kategori masyarakat desa Indonesia antara di Jawa dan luar Jawa saya kira tidak
mendesak dilakukan kecuali untuk mencermati adanya perbedaan kultural yang
spesifik antara desa di Jawa dan luar Jawa. Selain perbedaan kultural,
sebenarnya yang lebih penting dilakukan adalah mencermati tantangan antara desa-desa
di Jawa dan di luar Jawa ini saya kira juga berbeda-beda dan pengkategoriannya
akan lebih tepat bila bukan berbasis geografis tetapi berbasis karakteristik
ekologis.