Pendekatan
Fenomenologi dalam Sosiologi
Review: David Inglis & Christopher Thorpe. 2012. An
Invitation to Social Theory. Cambridge: Polity dan Ruth A Wallace & Naomi Wolf.
2006. Contemporary Sociological Theory. Chapter Six. Upper Sadle River, NJ:
Pearson Prentice Hall.
Fenomenologi disebutkan oleh David &
Christopher merupakan salah satu teori sosial kontemporer. Pendekatan ini
berupaya untuk mencari tahu bagaimana
dunia dipahami dan diterima dari sudut pandang individu atau kelompok tertentu.
Istilah ‘fenomenologi’ berasal dari bahasa Yunani ‘phenomenon’ yang dalam bahasa inggris berarti ‘peristiwa yang dapat
diamati (observable occurence) dan
‘analisa mengenai sesuatu’ (logos). Sementara
itu, Ruth dan Naomi, menyebutkan bahwa istilah fenomenologi berasal dari kata ‘phenomenon’ dalam bahasa Yunani yang
berarti ‘appearance’. Dalam The Encyclopedia of Sociolocy,
fenomenologi didefinisikan sebagai metode filsafat yang dimulai dari individu
dan pengalaman kesadaran serta menghindari asumsi, prasangka serta dogma-dogma
filosofis.
Oleh karena itulah secara
harafiah, fenomenologi merupakan kajian mengenai bagaimana seorang individu
atau suatu kelompok memahami apa yang ada di sekeliling mereka. Fenomenologi
adalah bagaimana mendalami cara orang melihat sesuatu dari sudut pandang
mereka. Fenomenologi mengkaji fenomena seperti apa yang dipahami dalam benak
mereka. Fenomenologi mengajak kita untuk tidak menerima begitu saja (taken for
granted), tetapi selalu mempertanyakan cara kita melihat dunia dan cara hidup
di dunia. Melalui perspektif ini, kita menempatkan diri kita dalam seperti
orang asing, pendatang dari luar. Seorang sosiolog yang menggunakan pendekatan
fenomenologi akan mengkaji bagaimana seseorang mendefinisikan situasi sosial
dimana mereka berada.
Fenomenologi menggunakan sudut
pandang kritis dalam melihat tatanan/keteraturan sosial (social order), fenomenologi mempertanyakan nilai-nilai yang telah
kita pelajari secara kultural. Dicontohkan bahwa seorang fenomenolog akan
melihat realitas alamiah perempuan, kebutuhan, peran serta posisi mereka dalam
masyarakat sebagai sistem ide yang dikonstruksikan dalam interaksi di masa
lampau dan dilanjutkan dalam interaksi di masa kini. Seorang fenomenolog akan
bertanya “Apakah memang sesuatu yang alamiah jika seorang perempuan itu harus
merawat anak-anak serta bertanggungjawab untuk membesarkan dan mengasuh mereka?
Dalam konteks ini bisa dilihat dari kaum feminis kontemporer yang tidak hanya
secara langsung mempertanyakan nilai-nilai yang sudah diterima begitu saja ini
tetapi juga memasukan definisi alternatif mengenai identitas perempuan dan
realitas-realitas yang berbeda mengenai perempuan.
Ada tiga hal utama yang menjadi
perhatian utama dari fenomenologi yaitu kesadaran individu, aktivitas dan perilaku
individu serta kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ‘kesadaran’, fenomenologi
menaruh perhatian pada bagaimana individu atau kelompok melihat, menerima,
memahami, mengalami, merespon, merasakan secara emosional dan terikat dengan
suatu subyek tertentu. Berkaitan dengan ‘aktivitas dan perilaku’, fenomenologi
tertarik dengan persepsi dan konsepsi mengenai dunia sekitar yang memungkinkan
orang-orang berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam hal ini, pendekatan
fenomenologis bersifat ‘actor centered’ atau berpusat pada aktor, memfokuskan
pada kesadaran individual dan bagaimana kesadaran ini mengarahkan dan
memungkinkan terjadinya aksi dan interaksi yang merupakan komponen utama dalam
kehidupan sosial. Sementara itu, ‘everyday
life’ berkaitan dengan konteks dimana individu berada. Inti dari
fenomenologi adalah bagaimana konteks ini diciptakan melalui aksi-aksi dan interaksi-interaksi,
dan sebaliknya bagaimana konteks ini juga memungkinkan adanya aksi dan
interaksi. Secara detail perhatian utama fenomenologi dapat dicermati berikut
ini:
Akar
Intelektual dari Fenomenologi
Edmund Husserl, Alfred Schutz, serta Peter Berger,
adalah sosok-sosok yang melekat kuat dengan fenomenologi. Sebelum memahami
konsep dari masing-masing tokoh tersebut, mengacu kembali pada David &
Christopher, peletak dasar fenomenologi dapat ditelusuri mulai dari Kant.
Sebagaimana disebutkan Kant, memahami dunia di luar sana tidak cukup dipahami
secara sederhana. Dunia dibangun dari kemampuan pikiran manusia untuk mengatur
dan menstrukturkan dunia di luar kita. Kita tidak akan pernah bisa masuk secara
langsung ke dunia ‘noumena’ serta semua yang ada di dalamnya, yang kita terima
adalah pandangan di dunia luar yang diterima dan distrukturkan oleh pikiran
kita sendiri. Dunia fenomena pada dasarnya adalah produk dari pikiran kita yang
sifatnya eksternal, sebuah realitas obyektif. Mengikuti konsep dari Kant inilah
maka sangat penting untuk bekerja di luar dari kerja pikiran manusia. Kita
biasanya akan lebih menemukan fenomena daripada noumena, yang ini berarti kita
sedang menggunakan fenomenologi, sebuah kajian mengenai bagaimana dunia dilihat
oleh individu, dan bagaimana kesadaran manusia bekerja, tidak semata kesadaran
manusia dalam memahami dunia tetapi juga dalam menciptakan dunia.
Filsuf
yang pertama kali mengembangkan fenomenologi adalah Edmund Husserl. Husserl
mendefinisikan fenomenologi sebagai ketertarikan mengenai sesuatu yang dapat
dimengerti secara langsung dari kesadaran seseorang. Objek studi filsafat
menurut Husserl adalah ‘stream of
conciousness’ atau arus kesadaran. Kesadaran atau consciousness seperti sebuah arus karena ia senantiasa bergerak, membuka
segala hal yang terjadi di sekitar individu. Husserl menekankan perhatian pada
pemahaman pemikiran dalam membentuk kesadaran individu. Semua pengetahuan kita
datang secara langsung dari mengalami fenomena, jika tidak itu berarti sebuah spekulasi, dan
dalam hal ini Husserl menekankan bahwa tidak boleh ada ‘spekulasi’. Oleh karena
itulah seorang sosiolog yang menggunakan fenomenologi, melihat tugas sosiologi
sebagai sebuah pendeskripsian yang tepat mengenai cara kita melihat dunia,
meskipun mereka menekankan bahwa persepsi-persepsi kita dibentuk secara
instrinsik oleh konsep-konsep kita sendiri.
Perkembangan
fenomenologi dalam ilmu sosial, tidak terlalu memperhatikan kesadaran alamiah
manusia secara umum, melainkan lebih fokus pada kesadaran yang bersifat khusus
yaitu bagaimana seseorang mengalami atau merasakan sebuah peristiwa, obyek,
atau lingkungan tertentu. Hal ini dikarenakan fenomenologi memfokuskan
perhatiannya mengenai seperti apa dunia dari sudut pandang atau eksistensi
seorang individu, yaitu bagaimana mereka ada dalam dunia keseharian mereka (lifeword) bersama dengan orang lain yang
berinteraksi dengan mereka.
Alfred
Schutz: Commonsense, Natural Attitude
dan Lifeworld
Figur penting selanjutnya dalam
fenomenologi adalah Alfred Schutz. Alfred Schutz merupakan salah satu figur
utama yang memasukan pemikiran dan metode fenomenologis ke dalam sosiologi.
Schutz menggabungkan konsep verstehen (subjective
understanding) dari Weber. Schutz mengembangkan beberapa kategori
fenomenologi yang dapat dijumpai dalam pengalaman individu maupun kelompok
serta kehidupan sosial manusia secara umum. Sociologi fenomenologis ala Schutz
menjelaskan detail dan kekhususan dari cara hidup orang dalam dunia mereka. Dunia
keseharian dimana orang-orang hidup atau berada disebut Schutz dengan istilah lifeworld. Lifeworld ini dibentuk oleh
budaya dari sekelompok orang atau individu. Budaya menciptakan ‘commonsense’. Commonsense ini tidak dibentuk melalui rasionalitas kritis
melainkan diterima begitu saja tanpa memikirkannya kembali atau yang kemudian
disebut Schutz dengan ‘natural attitude’
atau perilaku alamiah, ‘the habitual
senses of the world a person has’ (pengertian mengenai dunia yang dimiliki
seseorang). Perilaku alamiah ini merupakan disposisi mental yang dimiliki
sebagian besar orang sepanjang hidupnya, atau apa yang kemudian dipahami atau
disebut dengan istilah ‘normal’, ‘everyday’
dan ‘exceptional’. Perilaku alamiah
hanya akan digugat atau mengalami perubahan ketika sesuatu yang luarbiasa
terjadi. Ketika ini terjadi, maka ‘reality’
atau kenyataan menjadi runtuh dan menimbulkan ketidakpastian serta kecemasan,
tetapi sebagian besar perilaku alamiah mendukung segala sesuatu yang kita
pikirkan dan yang kita lakukan. Fokus terhadap cara berpikir dan cara pandang
umum ini (kesadaran praktis dan alasan praktis) merupakan inti dari pembahasan
dalam fenomenologi. Apa yang harus dilihat atau diselidiki adalah mengenai
bagaimana individu berperilaku secara khusus, sebagian besar dilakukan begitu
saja (taken for granted), yang ini
merupakan hasil dari tinggal dalam lingkungan tertentu.
Schutz juga memperkenalkan
konsep kunci dari fenomenologi yaitu pembagian antara kesadaran dunia yang
dimiliki oleh individu yang kita pelajari, dan kesadaran kita, seorang analis
sosial. Ini yang kemudian disebut dengan ‘first
order’ dan ‘second order’ categories.
Seseorang dalam sebuah ‘lifeworld’
tertentu, menggunakan kategori ‘first
order’- cara berpikir dan cara pandang mereka berakar dari kesadaran
praktis dan digunakan secara praktis dalam kebiasaan. Kategori ‘first order’ dalam lifeworld ini akan menjadi apa yang saya tahu dan saya pahami. Akan
menjadi semacam kategori mental. Jika seorang analis sosial akan
mempelajarinya, ia harus memahami bagaimana dunia ini dalam pandangan saya dan
apa yang saya pikirkan tentang dunia ini juga. Seorang analis sosial akan
merekonstruksi bangunan ‘lifeworld’
dari orang yang diteliti atau dipelajarinya.
Konsep selanjutnya yang penting
dari Schutz adalah kategori dasar rancangan (architecture) dari semua lifeworld
yaitu consociates (interaksi
individu yang bersifat dekat dan teratur seperti: keluarga, teman-teman), contemporaries (mereka yang berbagi
lifeworld yang sama tetapi tidak saling mengenal secara pribadi seperti: sopir
bus, pelayan toko), predecessor (mereka
yang sudah meninggal dan hidup di masa lampau); dan successor (mereka
yang akan hidup di masa depan). Lifeworld
menciptakan penggolongan dalam kesadaran praktis, membentuk kesadaran
individu tanpa individu tersebut menyadarinya.
Peter Beger
dan Luckman: Konstruksi Realitas
Figur selanjutnya dalam fenomenologi adalah Peter
Berger dan Luckman yang memperluas konsep dari Schutz. Mereka berdua fokus pada
proses-proses dimana setiap pengetahuan yang dimiliki seseorang diterima secara
sosial sebagai realitas. Melalui konstruksi realitaslah proses interaksi dan
aksi terjadi. Realitas adalah pengalaman yang memiliki makna secara faktual dan
subyektif. Realitas sehari-hari (everyday
reality) secara sosial dikonstruksikan dimana individu didalamnya kemudian
memberikan aturan pada setiap fenomena yang terjadi sehari-hari tersebut,
realitas bisa bersifat subjektif sekaligus juga obyektif. Realitas subyektif
adalah realitas yang memiliki makna secara pribadi, sementara realitas obyektif
mengacu pada tatanan sosial atau kelembagaan, dimana mereka melihat individu
sebagai produk.
Mengacu
pada Berger dan Luckman, alienasi didefinisikan sebagai hilangnya makna, sebuah
disintegrasi yang dikonstruksikan secara sosial oleh sistem pengetahuan.
Analisis fenomenologis Berger dan Luckman fokus pada pengalaman subjektif dari
realitas keseharian. Realitas mencakup realitas yang terjadi di masa lampau
maupun masa depan. Mereka berdua menekankan pada interaksi face to face dimana disanalah aksi yang nyata itu terjadi. Mereka
menyatakan bahwa interaksi face to face merupakan
prototipe interaksi sosial dan semua interaksi sosial berasal dari sana.
Konsep
kunci dari Berger dan Luckman adalah ‘moments
of dialectical process’ yang terdiri dari 3
hal yaitu: externalization, objectivation, dan internalization. Externalization
adalah ketika individu menciptakan realitas sosial mereka. Mereka melihat
tatanan sosial sebagai ciptaan atau buatan manusia. Tatanan sosial merupakan
hasil dari aktivitas manusia di masa lalu dan akan tetap ada selama ada manusia
yang terus memproduksinya. Eksternalisasi memiliki dua dimensi. Di satu sisi,
ia berarti manusia dapat menciptakan realitas sosial yang baru, seperti
memiliki teman baru atau membuka bisnis baru, di sisi lain juga berarti bahwa
manusia dapat menciptakan kembali kelembagaan sosial dengan
mengeksternalisasinya seperti memelihara atau memperbarui persabahatan atau
membayar pajak penghasilan. Sementara itu objektifikasi adalah ketika individu
memahami kehidupan keseharian mereka sebagai keteraturan yang mengatur mereka
namun sekaligus mereka tetap menjadi individu yang independen. Internalisasi
adalah sejenis sosialisasi dimana didalamnya legitimasi kelembagaan dipastikan.
Fenomenologi bagi saya pribadi
menjadi sebuah pendekatan yang sangat menarik. Fenomenologi tidak bisa dilihat
sebagai sosiologi yang konvensional atau tradisional terutama bagi mereka yang
lebih menyukai pendekatan kuantitatif. Melihat individu sebagai sosok yang
aktif, subjek yang tahu (bahkan juga emosional) adalah sebuah perpektif yang
melengkapi pendekatan yang selama ini mendudukkan mereka sebagai subjek yang
pasif. Fenomenologi hadir dan berkontribusi dalam mikrososiologi, sebuah
pendekatan yang saya lihat sebagai pendekatan yang lebih humanis, dan dekat.
Sebuah keunggulan sosiologi yang lengkap di masa depan, saya kira akan dibangun
melalui kontribusi pendekatan-pendekatan yang serupa ini.
No comments:
Post a Comment