Wednesday, November 25, 2015

Pendekatan Fenomenologi




Pendekatan Fenomenologi dalam Sosiologi



Review: David Inglis & Christopher Thorpe. 2012. An Invitation to Social Theory. Cambridge: Polity dan Ruth A Wallace & Naomi Wolf. 2006. Contemporary Sociological Theory. Chapter Six. Upper Sadle River, NJ: Pearson Prentice Hall.

Fenomenologi disebutkan oleh David & Christopher merupakan salah satu teori sosial kontemporer. Pendekatan ini berupaya untuk mencari tahu  bagaimana dunia dipahami dan diterima dari sudut pandang individu atau kelompok tertentu. Istilah ‘fenomenologi’ berasal dari bahasa Yunani ‘phenomenon’ yang dalam bahasa inggris berarti ‘peristiwa yang dapat diamati (observable occurence) dan ‘analisa mengenai sesuatu’ (logos). Sementara itu, Ruth dan Naomi, menyebutkan bahwa istilah fenomenologi berasal dari kata ‘phenomenon’ dalam bahasa Yunani yang berarti ‘appearance’. Dalam The Encyclopedia of Sociolocy, fenomenologi didefinisikan sebagai metode filsafat yang dimulai dari individu dan pengalaman kesadaran serta menghindari asumsi, prasangka serta dogma-dogma filosofis.
Oleh karena itulah secara harafiah, fenomenologi merupakan kajian mengenai bagaimana seorang individu atau suatu kelompok memahami apa yang ada di sekeliling mereka. Fenomenologi adalah bagaimana mendalami cara orang melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. Fenomenologi mengkaji fenomena seperti apa yang dipahami dalam benak mereka. Fenomenologi mengajak kita untuk tidak menerima begitu saja (taken for granted), tetapi selalu mempertanyakan cara kita melihat dunia dan cara hidup di dunia. Melalui perspektif ini, kita menempatkan diri kita dalam seperti orang asing, pendatang dari luar. Seorang sosiolog yang menggunakan pendekatan fenomenologi akan mengkaji bagaimana seseorang mendefinisikan situasi sosial dimana mereka berada.
Fenomenologi menggunakan sudut pandang kritis dalam melihat tatanan/keteraturan sosial (social order), fenomenologi mempertanyakan nilai-nilai yang telah kita pelajari secara kultural. Dicontohkan bahwa seorang fenomenolog akan melihat realitas alamiah perempuan, kebutuhan, peran serta posisi mereka dalam masyarakat sebagai sistem ide yang dikonstruksikan dalam interaksi di masa lampau dan dilanjutkan dalam interaksi di masa kini. Seorang fenomenolog akan bertanya “Apakah memang sesuatu yang alamiah jika seorang perempuan itu harus merawat anak-anak serta bertanggungjawab untuk membesarkan dan mengasuh mereka? Dalam konteks ini bisa dilihat dari kaum feminis kontemporer yang tidak hanya secara langsung mempertanyakan nilai-nilai yang sudah diterima begitu saja ini tetapi juga memasukan definisi alternatif mengenai identitas perempuan dan realitas-realitas yang berbeda mengenai perempuan.
Ada tiga hal utama yang menjadi perhatian utama dari fenomenologi yaitu kesadaran individu, aktivitas dan perilaku individu serta kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ‘kesadaran’, fenomenologi menaruh perhatian pada bagaimana individu atau kelompok melihat, menerima, memahami, mengalami, merespon, merasakan secara emosional dan terikat dengan suatu subyek tertentu. Berkaitan dengan ‘aktivitas dan perilaku’, fenomenologi tertarik dengan persepsi dan konsepsi mengenai dunia sekitar yang memungkinkan orang-orang berinteraksi satu dengan yang lain. Dalam hal ini, pendekatan fenomenologis bersifat ‘actor centered’ atau berpusat pada aktor, memfokuskan pada kesadaran individual dan bagaimana kesadaran ini mengarahkan dan memungkinkan terjadinya aksi dan interaksi yang merupakan komponen utama dalam kehidupan sosial. Sementara itu, ‘everyday life’ berkaitan dengan konteks dimana individu berada. Inti dari fenomenologi adalah bagaimana konteks ini diciptakan melalui aksi-aksi dan interaksi-interaksi, dan sebaliknya bagaimana konteks ini juga memungkinkan adanya aksi dan interaksi. Secara detail perhatian utama fenomenologi dapat dicermati berikut ini:

 

Akar Intelektual dari Fenomenologi

Edmund Husserl, Alfred Schutz, serta Peter Berger, adalah sosok-sosok yang melekat kuat dengan fenomenologi. Sebelum memahami konsep dari masing-masing tokoh tersebut, mengacu kembali pada David & Christopher, peletak dasar fenomenologi dapat ditelusuri mulai dari Kant. Sebagaimana disebutkan Kant, memahami dunia di luar sana tidak cukup dipahami secara sederhana. Dunia dibangun dari kemampuan pikiran manusia untuk mengatur dan menstrukturkan dunia di luar kita. Kita tidak akan pernah bisa masuk secara langsung ke dunia ‘noumena’ serta semua yang ada di dalamnya, yang kita terima adalah pandangan di dunia luar yang diterima dan distrukturkan oleh pikiran kita sendiri. Dunia fenomena pada dasarnya adalah produk dari pikiran kita yang sifatnya eksternal, sebuah realitas obyektif. Mengikuti konsep dari Kant inilah maka sangat penting untuk bekerja di luar dari kerja pikiran manusia. Kita biasanya akan lebih menemukan fenomena daripada noumena, yang ini berarti kita sedang menggunakan fenomenologi, sebuah kajian mengenai bagaimana dunia dilihat oleh individu, dan bagaimana kesadaran manusia bekerja, tidak semata kesadaran manusia dalam memahami dunia tetapi juga dalam menciptakan dunia. 



        Filsuf yang pertama kali mengembangkan fenomenologi adalah Edmund Husserl. Husserl mendefinisikan fenomenologi sebagai ketertarikan mengenai sesuatu yang dapat dimengerti secara langsung dari kesadaran seseorang. Objek studi filsafat menurut Husserl adalah ‘stream of conciousness’ atau arus kesadaran. Kesadaran atau consciousness seperti sebuah arus karena ia senantiasa bergerak, membuka segala hal yang terjadi di sekitar individu. Husserl menekankan perhatian pada pemahaman pemikiran dalam membentuk kesadaran individu. Semua pengetahuan kita datang secara langsung dari mengalami fenomena,  jika tidak itu berarti sebuah spekulasi, dan dalam hal ini Husserl menekankan bahwa tidak boleh ada ‘spekulasi’. Oleh karena itulah seorang sosiolog yang menggunakan fenomenologi, melihat tugas sosiologi sebagai sebuah pendeskripsian yang tepat mengenai cara kita melihat dunia, meskipun mereka menekankan bahwa persepsi-persepsi kita dibentuk secara instrinsik oleh konsep-konsep kita sendiri.
         Perkembangan fenomenologi dalam ilmu sosial, tidak terlalu memperhatikan kesadaran alamiah manusia secara umum, melainkan lebih fokus pada kesadaran yang bersifat khusus yaitu bagaimana seseorang mengalami atau merasakan sebuah peristiwa, obyek, atau lingkungan tertentu. Hal ini dikarenakan fenomenologi memfokuskan perhatiannya mengenai seperti apa dunia dari sudut pandang atau eksistensi seorang individu, yaitu bagaimana mereka ada dalam dunia keseharian mereka (lifeword) bersama dengan orang lain yang berinteraksi dengan mereka.

Alfred Schutz: Commonsense, Natural Attitude dan Lifeworld

Figur penting selanjutnya dalam fenomenologi adalah Alfred Schutz. Alfred Schutz merupakan salah satu figur utama yang memasukan pemikiran dan metode fenomenologis ke dalam sosiologi. Schutz menggabungkan konsep verstehen (subjective understanding) dari Weber. Schutz mengembangkan beberapa kategori fenomenologi yang dapat dijumpai dalam pengalaman individu maupun kelompok serta kehidupan sosial manusia secara umum. Sociologi fenomenologis ala Schutz menjelaskan detail dan kekhususan dari cara hidup orang dalam dunia mereka. Dunia keseharian dimana orang-orang hidup atau berada disebut Schutz dengan istilah lifeworld. Lifeworld ini dibentuk oleh budaya dari sekelompok orang atau individu. Budaya menciptakan ‘commonsense’. Commonsense ini tidak dibentuk melalui rasionalitas kritis melainkan diterima begitu saja tanpa memikirkannya kembali atau yang kemudian disebut Schutz dengan ‘natural attitude’ atau perilaku alamiah, ‘the habitual senses of the world a person has’ (pengertian mengenai dunia yang dimiliki seseorang). Perilaku alamiah ini merupakan disposisi mental yang dimiliki sebagian besar orang sepanjang hidupnya, atau apa yang kemudian dipahami atau disebut dengan istilah ‘normal’, ‘everyday’ dan ‘exceptional’. Perilaku alamiah hanya akan digugat atau mengalami perubahan ketika sesuatu yang luarbiasa terjadi. Ketika ini terjadi, maka ‘reality’ atau kenyataan menjadi runtuh dan menimbulkan ketidakpastian serta kecemasan, tetapi sebagian besar perilaku alamiah mendukung segala sesuatu yang kita pikirkan dan yang kita lakukan. Fokus terhadap cara berpikir dan cara pandang umum ini (kesadaran praktis dan alasan praktis) merupakan inti dari pembahasan dalam fenomenologi. Apa yang harus dilihat atau diselidiki adalah mengenai bagaimana individu berperilaku secara khusus, sebagian besar dilakukan begitu saja (taken for granted), yang ini merupakan hasil dari tinggal dalam lingkungan tertentu.
Schutz juga memperkenalkan konsep kunci dari fenomenologi yaitu pembagian antara kesadaran dunia yang dimiliki oleh individu yang kita pelajari, dan kesadaran kita, seorang analis sosial. Ini yang kemudian disebut dengan ‘first order’ dan ‘second order’ categories. Seseorang dalam sebuah ‘lifeworld’ tertentu, menggunakan kategori ‘first order’- cara berpikir dan cara pandang mereka berakar dari kesadaran praktis dan digunakan secara praktis dalam kebiasaan. Kategori ‘first order’ dalam lifeworld ini akan menjadi apa yang saya tahu dan saya pahami. Akan menjadi semacam kategori mental. Jika seorang analis sosial akan mempelajarinya, ia harus memahami bagaimana dunia ini dalam pandangan saya dan apa yang saya pikirkan tentang dunia ini juga. Seorang analis sosial akan merekonstruksi bangunan ‘lifeworld’ dari orang yang diteliti atau dipelajarinya.
Konsep selanjutnya yang penting dari Schutz adalah kategori dasar rancangan (architecture) dari semua lifeworld yaitu consociates (interaksi individu yang bersifat dekat dan teratur seperti: keluarga, teman-teman), contemporaries (mereka yang berbagi lifeworld yang sama tetapi tidak saling mengenal secara pribadi seperti: sopir bus, pelayan toko), predecessor (mereka yang sudah meninggal dan hidup di masa lampau); dan successor (mereka yang akan hidup di masa depan). Lifeworld menciptakan penggolongan dalam kesadaran praktis, membentuk kesadaran individu tanpa individu tersebut menyadarinya.


Peter Beger dan Luckman: Konstruksi Realitas

Figur selanjutnya dalam fenomenologi adalah Peter Berger dan Luckman yang memperluas konsep dari Schutz. Mereka berdua fokus pada proses-proses dimana setiap pengetahuan yang dimiliki seseorang diterima secara sosial sebagai realitas. Melalui konstruksi realitaslah proses interaksi dan aksi terjadi. Realitas adalah pengalaman yang memiliki makna secara faktual dan subyektif. Realitas sehari-hari (everyday reality) secara sosial dikonstruksikan dimana individu didalamnya kemudian memberikan aturan pada setiap fenomena yang terjadi sehari-hari tersebut, realitas bisa bersifat subjektif sekaligus juga obyektif. Realitas subyektif adalah realitas yang memiliki makna secara pribadi, sementara realitas obyektif mengacu pada tatanan sosial atau kelembagaan, dimana mereka melihat individu sebagai produk.
         Mengacu pada Berger dan Luckman, alienasi didefinisikan sebagai hilangnya makna, sebuah disintegrasi yang dikonstruksikan secara sosial oleh sistem pengetahuan. Analisis fenomenologis Berger dan Luckman fokus pada pengalaman subjektif dari realitas keseharian. Realitas mencakup realitas yang terjadi di masa lampau maupun masa depan. Mereka berdua menekankan pada interaksi face to face dimana disanalah aksi yang nyata itu terjadi. Mereka menyatakan bahwa interaksi face to face merupakan prototipe interaksi sosial dan semua interaksi sosial berasal dari sana.
              Konsep kunci dari Berger dan Luckman adalah ‘moments of dialectical process’ yang terdiri dari 3  hal yaitu: externalization, objectivation, dan internalization. Externalization adalah ketika individu menciptakan realitas sosial mereka. Mereka melihat tatanan sosial sebagai ciptaan atau buatan manusia. Tatanan sosial merupakan hasil dari aktivitas manusia di masa lalu dan akan tetap ada selama ada manusia yang terus memproduksinya. Eksternalisasi memiliki dua dimensi. Di satu sisi, ia berarti manusia dapat menciptakan realitas sosial yang baru, seperti memiliki teman baru atau membuka bisnis baru, di sisi lain juga berarti bahwa manusia dapat menciptakan kembali kelembagaan sosial dengan mengeksternalisasinya seperti memelihara atau memperbarui persabahatan atau membayar pajak penghasilan. Sementara itu objektifikasi adalah ketika individu memahami kehidupan keseharian mereka sebagai keteraturan yang mengatur mereka namun sekaligus mereka tetap menjadi individu yang independen. Internalisasi adalah sejenis sosialisasi dimana didalamnya legitimasi kelembagaan dipastikan.
Fenomenologi bagi saya pribadi menjadi sebuah pendekatan yang sangat menarik. Fenomenologi tidak bisa dilihat sebagai sosiologi yang konvensional atau tradisional terutama bagi mereka yang lebih menyukai pendekatan kuantitatif. Melihat individu sebagai sosok yang aktif, subjek yang tahu (bahkan juga emosional) adalah sebuah perpektif yang melengkapi pendekatan yang selama ini mendudukkan mereka sebagai subjek yang pasif. Fenomenologi hadir dan berkontribusi dalam mikrososiologi, sebuah pendekatan yang saya lihat sebagai pendekatan yang lebih humanis, dan dekat. Sebuah keunggulan sosiologi yang lengkap di masa depan, saya kira akan dibangun melalui kontribusi pendekatan-pendekatan yang serupa ini.

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...