Monday, November 23, 2015

Berpikir Sosiologis



Thinking Sociologically”: Berpikir Sosiologis dalam Perspektif Robert J Brym






Berpikir secara sosiologis atau thinking sociologically dalam perspektif Brym[1] adalah tentang soal hidup (life issue) dan soal mati (death issue). Brym mengklaim bahwa ia menggunakan kedua istilah bukan untuk menghadirkan efek dramatis. Namun bagi saya yang sudah lama tidak membaca dan menekuni bacaan-bacaan ‘teoritis’ yang ‘serius’, judul buku ini cukup menggugah untuk membuka lembar demi lembar dan menemukan debat dan diskusi lebih lanjut mengenai apa sebenarnya yang ingin dimunculkan oleh Brym melalui kedua istilah tersebut? Brym sendiri berargumen bahwa ‘soal kematian’ ini ia gunakan untuk mendorong pembaca fokus pada bagaimana bisa hidup dengan cara-cara terbaik di waktu yang tersisa ini. Dalam konteks inilah, Brym menekankan bagaimana sosiologi bisa berkontribusi.
‘Sosiologi’ menurut Brym, dapat membantu untuk memberikan gambaran bagaimana bisa hidup dengan lebih baik (Sociology can help us figure out how to life better), sebuah promosi yang saya kira cukup menarik. “Sociology is the systematic study of human action in social context. Sociologyst  analyze the social relations that lie beneath ordinary aspect of everyday life”. Sosiologi adalah kajian sistematis mengenai perilaku manusia dalam konteks sosial. Seorang sosiolog atau ahli sosiologi akan menganalisa relasi sosial yang ada dalam keseharian.
Diskusi mengenai ‘death’ dimunculkan Brym dalam bab awal dari buku ini yang kemudian diilustrasikan dalam tiga bab selanjutnya dengan masing-masing membahas mengenai cerita hip hop di Amerika, bom bunuh diri Palestina dan badai Katrina di Teluk Meksiko. Dalam ketiga ilustrasi inilah, Brym mengkaji kematian akibat kekerasan dan kematian akibat bencana alam. Melalui ilustrasi kasus tersebut, Brym menemukan adanya kekuatan sosial yang menentukan siapa yang hidup (who lives) dan siapa yang mati (who dies).
Kematian adalah sumber kecemasan yang hanya bisa dicarikan jalan keluarnya (ditenangkan) melalui ‘penyangkalan’ (denying death). Namun pada kenyataannya, penyangkalan kematian hanyalah jebakan. Yang diperlukan adalah kesadaran bahwa setiap orang akan mati dan kematian bisa datang kapan pun. Disinilah manusia sebagai ‘mesin pencipta makna’, mulai berupaya untuk menjelaskan situasi dan menemukan apa yang kita harapkan dan diharapkan orang lain. Sistem pendidikan tinggi adalah contoh institusi yang diciptakan untuk menemukan makna bagaimana sebuah kehidupan yang baik itu.


 
Dalam konteks inilah, pendekatan sosiologi dikatakan Brym bisa berkontribusi, “The sociological approach to improving human welfare is based on the idea that the relations we have with other people create opportunities for us to think and act but also sets limits on our thought and actions. Kita dapat memahami siapa kita dan apa yang bisa kita lakukan dengan lebih baik dengan mempelajari relasi-relasi sosial yang membentuk kita.
Salah satu ilustrasi klasik pendekatan sosiologis yang dimunculkan Brym adalah konsep solidaritas sosial dari Durkheim untuk menjelaskan tingkat bunuh diri di Perancis pada akhir abad ke 19 yang kemudian banyak diikuti oleh sosiolog masa kini untuk mengidentifikasi: 1) tipe perilaku yang dianggap penting secara personal, politis dan intelektual; 2) pola-pola relasi diantara individu yang mempengaruhi perilaku; 3) perubahan kelembagaan dan politik yang secara efektif mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui riset yang mengidentifikasi 3 elemen ini, para sosiolog membantu masyarakat untuk memahami siapa mereka dan apa yang bisa mereka lakukan dalam konteks sosial dan historis yang spesifik.

Doing Sociology - Sosiologi as a Vocation

Fokus pada ‘konteks’ adalah penekanan yang diberikan Brym untuk dilakukan oleh seorang sosiolog. Sosiologi membantu memahami fenomena budaya populer hip hop di Amerika sebagai bentuk kritik sosial terhadap kemiskinan, diskriminasi kelas, kekerasan dan kematian yang menjadi bagian dari keseharian kelompok kulit hitam di Amerika (African America). Hip-Hop menjadi semacam sistem survive (a system of survival) dan  pemberdayaan  (self-empowerment) untuk menuntut negara yang lebih toleran terhadap keberadaan kelompok kulit hitam di Amerika. Melalui media hip-hoplah, mobilitas kelas dimungkinkan. Konsep mengenai struktur sosial merupakan kontribusi yang diberikan sosiolog untuk menjelaskan hal ini.
Doing sociology digambarkan Brym melalui 4 term yaitu nilai-nilai (values), teori-teori (theories), riset (research), dan kebijakan sosial (social policy). Nilai adalah ide-ide mengenai apa yang baik dan apa yang buruk yang akan mengantarkan kita pada proses analisa subjek. Teori merupakan penjelasan dari fenomena sosial dan riset adalah pengumpulan dan analisa data yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh penjelasan-penjelasan yang valid. Sementara itu kebijakan sosial (social policies) adalah tatanan dan regulasi untuk mengatur perilaku-perilaku organisasi dan pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap masalah-masalah sosial (social policies).
Bagi saya yang cukup menarik dari pembahasan Brym adalah mengenai posisi teori dalam sebuah riset sosiologis sebagaimana dikutip: ‘People cannot do anything well if they enggage in practice (research, and action based on that research) without theory. Starting research before developing a clear theoritical statement of how the relevant social facts might be related is a recipe for wasting years collecting and analyzing data in the field, the archives, or at a computer terminal. The reserve is also problematic. Theorizing without research is about as useful to science as excercise without movement is useful to human body. Dalam hal inilah, Brym memunculkan tahapan riset sosiologis yang harus dilakukan seperti dapat dicermati berikut ini:


 
Saya sendiri sangat setuju dengan teori sebagai basis dari sebuah riset yang baik, teori akan memberikan tuntunan dalam sebuah riset. Dalam konteks ini, bagaimana kemudian menempatkan sebuah teori dalam model grounded research. Dalam tulisannya, Brym tidak cukup memberikan diskusi mengenai riset-riset sosiologis, hanya lebih menekankan bagaimana perspektif sosiologis digunakan saat mengamati suatu fenomena atau isu tertentu atau bagaimana sosiologi berkontribusi dalam menganalisa persoalan.
                Catatan terakhir Brym dalam tulisan ini yang menarik bagi saya adalah mengenai positive freedom dan negative freedom. Negative freedom adalah bebas dari hambatan/halangan yang mencegah apa yang ingin dilakukan. sementara itu negative freedom adalah kapasitas untuk berpikir secara rasional. Saya sendiri akan berada pada posisi Brym, bisa positive dan bisa negative, tergantung apa yang harus saya respon dan posisi mana yang saya pilih ketika itu. Kerja sosiologis memang sebuah panggilan ‘calling’ dan bukan sebuah kursus ‘course’. Berawal dari sebuah kecemasan (anxiety) mengenai kematian, perspektif sosiologi menyediakan penjelasan-penjelasan untuk kecemasan atau kegelisahan tersebut.


Review: Robert J Brym. 1951. Sociology as a Life or Death Issue, 1st Canadian Edition. Canada: Nelson Education.



-Dwi Wulan Pujiriyani- (SPD/2015)




[1]Robert Brym merupakan sosiolog yang cukup konsisten menuliskan banyak karya. Profesor Sosiologi Universitas Toronto yang lahir pada tahun 1951 ini menguasai lima bahasa sekaligus (english, Hebrew, Yiddish, French, German dan Russian). Beberapa karyanya yang lain antara lain: Sociology: Your Compass for a New World; Society in Questions: Sociological Reading for 21st Century; New Society: Sociology for the 21st Century; The Social Condition of Humanity, dan lain-lain).

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...