“Thinking Sociologically”: Berpikir Sosiologis dalam Perspektif Robert J Brym
Berpikir secara sosiologis atau thinking sociologically dalam perspektif
Brym[1]
adalah tentang soal hidup (life issue)
dan soal mati (death issue). Brym
mengklaim bahwa ia menggunakan kedua istilah bukan untuk menghadirkan efek
dramatis. Namun bagi saya yang sudah lama tidak membaca dan menekuni
bacaan-bacaan ‘teoritis’ yang ‘serius’, judul buku ini cukup menggugah untuk
membuka lembar demi lembar dan menemukan debat dan diskusi lebih lanjut
mengenai apa sebenarnya yang ingin dimunculkan oleh Brym melalui kedua istilah
tersebut? Brym sendiri berargumen bahwa ‘soal kematian’ ini ia gunakan untuk
mendorong pembaca fokus pada bagaimana bisa hidup dengan cara-cara terbaik di
waktu yang tersisa ini. Dalam konteks inilah, Brym menekankan bagaimana sosiologi
bisa berkontribusi.
‘Sosiologi’ menurut Brym, dapat
membantu untuk memberikan gambaran bagaimana bisa hidup dengan lebih baik (Sociology can help us figure out how to life
better), sebuah promosi yang saya kira cukup menarik. “Sociology is the systematic study of human action in social context.
Sociologyst analyze the social relations that lie beneath ordinary aspect of
everyday life”. Sosiologi adalah kajian sistematis mengenai perilaku
manusia dalam konteks sosial. Seorang sosiolog atau ahli sosiologi akan
menganalisa relasi sosial yang ada dalam keseharian.
Diskusi mengenai ‘death’ dimunculkan Brym dalam bab awal
dari buku ini yang kemudian diilustrasikan dalam tiga bab selanjutnya dengan
masing-masing membahas mengenai cerita hip hop di Amerika, bom bunuh diri Palestina
dan badai Katrina di Teluk Meksiko. Dalam ketiga ilustrasi inilah, Brym
mengkaji kematian akibat kekerasan dan kematian akibat bencana alam. Melalui ilustrasi
kasus tersebut, Brym menemukan adanya kekuatan sosial yang menentukan siapa
yang hidup (who lives) dan siapa yang
mati (who dies).
Kematian adalah sumber kecemasan
yang hanya bisa dicarikan jalan keluarnya (ditenangkan) melalui ‘penyangkalan’
(denying death). Namun pada
kenyataannya, penyangkalan kematian hanyalah jebakan. Yang diperlukan adalah
kesadaran bahwa setiap orang akan mati dan kematian bisa datang kapan pun.
Disinilah manusia sebagai ‘mesin pencipta makna’, mulai berupaya untuk
menjelaskan situasi dan menemukan apa yang kita harapkan dan diharapkan orang
lain. Sistem pendidikan tinggi adalah contoh institusi yang diciptakan untuk
menemukan makna bagaimana sebuah kehidupan yang baik itu.
Dalam konteks inilah, pendekatan
sosiologi dikatakan Brym bisa berkontribusi, “The sociological approach to improving human welfare is based on the
idea that the relations we have with other people create opportunities for us
to think and act but also sets limits on our thought and actions. Kita
dapat memahami siapa kita dan apa yang bisa kita lakukan dengan lebih baik
dengan mempelajari relasi-relasi sosial yang membentuk kita.
Salah satu ilustrasi klasik
pendekatan sosiologis yang dimunculkan Brym adalah konsep solidaritas sosial
dari Durkheim untuk menjelaskan tingkat bunuh diri di Perancis pada akhir abad
ke 19 yang kemudian banyak diikuti oleh sosiolog masa kini untuk
mengidentifikasi: 1) tipe perilaku yang dianggap penting secara personal,
politis dan intelektual; 2) pola-pola relasi diantara individu yang
mempengaruhi perilaku; 3) perubahan kelembagaan dan politik yang secara efektif
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui riset yang
mengidentifikasi 3 elemen ini, para sosiolog membantu masyarakat untuk memahami
siapa mereka dan apa yang bisa mereka lakukan dalam konteks sosial dan historis
yang spesifik.
Doing Sociology - Sosiologi as a
Vocation
Fokus pada ‘konteks’ adalah penekanan yang
diberikan Brym untuk dilakukan oleh seorang sosiolog. Sosiologi membantu
memahami fenomena budaya populer hip hop di Amerika sebagai bentuk kritik
sosial terhadap kemiskinan, diskriminasi kelas, kekerasan dan kematian yang
menjadi bagian dari keseharian kelompok kulit hitam di Amerika (African
America). Hip-Hop menjadi semacam sistem survive (a system of survival) dan pemberdayaan
(self-empowerment) untuk
menuntut negara yang lebih toleran terhadap keberadaan kelompok kulit hitam di
Amerika. Melalui media hip-hoplah, mobilitas kelas dimungkinkan. Konsep
mengenai struktur sosial merupakan kontribusi yang diberikan sosiolog untuk
menjelaskan hal ini.
Doing sociology digambarkan Brym melalui 4 term yaitu nilai-nilai (values), teori-teori (theories), riset (research), dan kebijakan sosial (social policy). Nilai adalah ide-ide mengenai apa yang baik dan apa
yang buruk yang akan mengantarkan kita pada proses analisa subjek. Teori
merupakan penjelasan dari fenomena sosial dan riset adalah pengumpulan dan
analisa data yang dilakukan secara sistematis untuk memperoleh
penjelasan-penjelasan yang valid. Sementara itu kebijakan sosial (social
policies) adalah tatanan dan regulasi untuk mengatur perilaku-perilaku
organisasi dan pemerintah untuk melakukan koreksi terhadap masalah-masalah
sosial (social policies).
Bagi saya yang cukup menarik
dari pembahasan Brym adalah mengenai posisi teori dalam sebuah riset sosiologis
sebagaimana dikutip: ‘People cannot do
anything well if they enggage in practice (research, and action based on that
research) without theory. Starting research before developing a clear
theoritical statement of how the relevant social facts might be related is a
recipe for wasting years collecting and analyzing data in the field, the
archives, or at a computer terminal. The reserve is also problematic. Theorizing
without research is about as useful to science as excercise without movement is
useful to human body. Dalam hal inilah, Brym memunculkan tahapan riset
sosiologis yang harus dilakukan seperti dapat dicermati berikut ini:
Saya sendiri sangat setuju
dengan teori sebagai basis dari sebuah riset yang baik, teori akan memberikan
tuntunan dalam sebuah riset. Dalam konteks ini, bagaimana kemudian menempatkan
sebuah teori dalam model grounded
research. Dalam tulisannya, Brym tidak cukup memberikan diskusi mengenai
riset-riset sosiologis, hanya lebih menekankan bagaimana perspektif sosiologis
digunakan saat mengamati suatu fenomena atau isu tertentu atau bagaimana
sosiologi berkontribusi dalam menganalisa persoalan.
Catatan
terakhir Brym dalam tulisan ini yang menarik bagi saya adalah mengenai positive freedom dan negative freedom. Negative freedom
adalah bebas dari hambatan/halangan yang mencegah apa yang ingin dilakukan.
sementara itu negative freedom adalah kapasitas untuk berpikir secara rasional.
Saya sendiri akan berada pada posisi Brym, bisa positive dan bisa negative,
tergantung apa yang harus saya respon dan posisi mana yang saya pilih ketika
itu. Kerja sosiologis memang sebuah panggilan ‘calling’ dan bukan sebuah kursus ‘course’. Berawal dari sebuah kecemasan (anxiety) mengenai kematian, perspektif sosiologi menyediakan
penjelasan-penjelasan untuk kecemasan atau kegelisahan tersebut.
Review: Robert J Brym. 1951. Sociology as a Life or Death Issue, 1st Canadian Edition. Canada:
Nelson Education.
-Dwi Wulan Pujiriyani- (SPD/2015)
[1]Robert
Brym merupakan sosiolog yang cukup konsisten menuliskan banyak karya. Profesor
Sosiologi Universitas Toronto yang lahir pada tahun 1951 ini menguasai lima
bahasa sekaligus (english, Hebrew, Yiddish, French, German dan Russian).
Beberapa karyanya yang lain antara lain: Sociology:
Your Compass for a New World; Society in Questions: Sociological Reading for
21st Century; New Society: Sociology for the 21st Century; The Social Condition
of Humanity, dan lain-lain).
No comments:
Post a Comment