Sosiologi dan Fakta Sosial
Review: George E G Catlin (ed). The Rules of
Sociological Method. Chapter 1. New York: The Free Press.
Membuka chapter pertama buku ini, penulis
memunculkan sebuah diskusi kecil tentang bagaimana sosiolog sampai saat ini
hanya memberikan sedikit pemikiran untuk mendefinisikan dan menggambarkan
metode yang mereka gunakan dalam mengkaji fakta-fakta sosial. Dalam karya
spencer misalnya, hampir tidak ada ruang untuk persoalan metodologi. The Study of Sociology, semata
dicurahkan untuk mendemonstrasikan berbagai kesulitan dan kemungkinan dalam
sosiologi, namun tidak diuraikan mengenai metode-metode dan cara menggunakannya.
Mill adalah tokoh yang selanjutnya juga dianggap kurang mampu memberikan uraian
yang lengkap mengenai metodologi ini. Mill mendiskusikan mengenai metode, tetapi hanya
mengujinya dengan dialektika yang sudah diuraikan oleh Comte, tetapi tidak menambahkan
apapun yang baru.
The Rules of Sociological Method atau
judul aslinya Les Regles de la Methode
Sociologique merupakan salah satu karya Durkheim yang dipublikasikan pada
tahun 1895. Karyanya ini dikenal sebagai proyek pribadi Durkheim untuk
memantabkan sosiologi sebagai sebuah ilmu sosial yang positivis. Buku ini bisa
disebut sebagai manifesto sosiologinya. Durkheim membedakan sosiologi dari ilmu-ilmu
lainnya dengan menjelaskan rasionalitasnya. ‘Sociology is the science of social fact’, menurut Durkheim ada dua
tesis utama yang tanpanya sosiologi tidak bisa disebut sebagai ilmu.
Kedua tesis tersebut yaitu:
Saya sendiri menyukai ide Durkheim
untuk membangun distingsi (kekhususan) dari ilmu sosiologi. Melalui distingsi
inilah sebenarnya keilmuan sosiologi bisa menunjukan kekhasannya secara tegas
dan membedakannya dengan keilmuan yang lain.
Sebenarnya
apa fakta sosial itu atau What is a
social fact? Fakta-fakta mana yang secara umum bisa disebut sosial atau Which facts are commonly called social?
Semua hal yang dilakukan manusia (makan, minum, tidur) dalam sebuah pola yang
teratur, bisa dikatakan sosial. Namun jika fakta ini disebut sosial, bagaimana
sosiologi bisa memiliki subjek kajian yang eksklusif yang akan membedakannya
dengan keilmuan lain seperti biologi dan psikologi misalnya? Dicontohkan
melalui berbagai peran yang melekat pada seorang individu misalnya sebagai
seorang saudara laki-laki,seorang suami dan seorang warga negara. Peran-peran ini
sudah ditentukan dalam sebuah adat ataupun aturan hukum, tidak serta merta
muncul dalam diri individu, tetapi aturan-aturan ini melalui proses pewarisan,
yang salah satunya ditemui dalam pendidikan. Dalam konteks inilah kemudian
muncul apa yang bisa disebut sebagai realitas subjektif dan realitas obyektif. Sistem
tanda yang digunakan dalam mengekspresikan pemikiran dan perilaku berfungsi
secara bebas menjadi pilihan-pilhan individu.
Selanjutnya
dapat dikatakan bahwa fakta adalah sebuah kategori khusus: cara berperilaku,
berpikir, dan merasakan yang berada di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan/mengontrol seperti
dapat dicermati dalam ilustrasi berikut ini:
Fakta inilah yang kemudian bisa
dibedakan dengan ilmu biologi karena fakta ini berkaitan dengan representasi
dan aksi. Begitupun dengan psikologi dimana fakta hanya berada dalam batas
kesadaran individu. Dalam hal inilah, kategori fakta yang ‘sosial’ itu bisa
dibedakan.
Sementara
itu kembali pada domain sosiologi, Durkheim menyebutnya dengan fakta sosial
yang didefinisikan sebagai berikut:
“A social fact is
every way of acting, fixed or not, capable of exercising on the individual an
external constraint; or again, every way of acting which is general throughout
a given society, while at the same time existing in its own right independent
of its individual manifestations”
Definisi ini mengilustrasikan sebuah paradigma
holistik dimana fakta sosial Durkheim didefinisikan dalam dua profil yaitu
fakta sosial berada di luar (external)
individu dan memaksa (coercive)
individu. Fakta-fakta sosial tidak hanya merepresentasikan perilaku tetapi juga
aturan atau tatanan yang mengelola perilaku dan memberikannya makna. Fakta
sosial dapat menjadi penghalang atau batasan ketika individu-individu tidak mau
mengikuti apa yang sudah ditentukan dan akan memperoleh semacam sanksi.
Keterikatan dengan fakta sosial ini seringkali tidak nampak (implisit) karena aturan-aturan
dalam masyarakat sudah diinternalisasikan individu dalam proses sosialisasi dan
pendidikan.
Menjadi
catatan bagi saya, dalam tulisan ini disebutkan bahwa domain sosiologi terbatas
pada kelompok fenomena tertentu. Fakta sosial dapat dikenali dari kekuatan
memaksa dari eksternal individu dimana kehadirannya dapat dikenali dari adanya
sanksi dan resistensi dari individu yang berupaya untuk melanggarnya. Jadi
benarkah tidak ada sama sekali ruang-ruang pemaknaan subjektif dalam konteks
ini? Apakah fakta sosial ini benar-benar menggantikan eksistensi individu dalam
memaknai dirinya sehingga hanya konteks sosial-lah yang menentukan siapa dan
bagaimana individu itu?
-Dwi Wulan Pujiriyani- (SPD/2015)