Transmigrasi
dan Politik Pengendalian Ruang
Transmigrasi merupakan instrumen kebijakan
pembangunan di Indonesia yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepadatan populasi
di wilayah-wilayah inner Indonesia
(Jawa, Bali dan Madura) dengan wilayah-wilayah terluar atau outer areas seperti Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi dan sejumlah pulau-pulau lain di wilayah Indonesia bagian Timur. Skema
produksi ruang menempatkan transmigrasi sebagai sebuah representasi khusus dari
ruang yang melekat dalam pemikiran birokrasi di Indonesia.
Berkaitan dengan ruang Lefebvre
mengungkapkan konsep spasialitas sosial yaitu ruang sebagai sebuah kategori
sosial yang diproduksi melalui dinamika relasi-relasi sosial yang kemudian
dikenal dengan konstruksi 'conceptual
triad'. Terdapat tiga tipe ruang menurut Lefebvre. Pertama adalah spatial practice yaitu
dialektika relasi antara masyarakat dengan ruang yang diproduksinya. Ini
dipahami sebagai pengorganisasian kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan
ruang dan menghadirkannya dalam struktur kehidupan sehari-hari, memastikan
kohesi sosial dan kontinuitas.
Kedua adalah representasi ruang yaitu
konseptualisasi ruang, yang dibuat oleh ilmuwan, perencana, ahli perkotaan,
teknokrat atau para perekayasa sosial. Representasi ruang berkaitan dengan
relasi produksi dan beberapa hal seperti hegemoni, kodifikasi dan tatanan,
memiliki peran substantif dalam produksi ruang. Dalam konteks transmigrasi,
bisa dikatakan bahwa transmigrasi merupakan bagian dari instrumen representasi
ruang yang muncul dari imajinasi pembangunan para teknokrat Orde Baru dan
dukungan internasional.
Ketiga, ruang representasional atau
ruang representasi yaitu ruang yang secara langsung dilekatkan dengan gambaran
atau simbol-simbol, ruang yang ditinggali atau digunakan. Ini diintepretasikan
sebagai pemaknaan tempat dan nilai simboliknya, ruang dimana orang mencipta
melalui modifikasi lingkungan. Dalam
konteks inilah, social space atau
ruang sosial dimunculkan untuk melihat program transmigrasi pemerintah sebagai
bagian dari hegemoni representasi dari otoritas negara. Konsep ruang sosial ini
penting untuk bisa melihat dimensi ekonomi, politis dan kultural dari hegemoni
spasial transmigrasi dan sebuah komunitas yang dibayangkan.[1]
Pemukiman yang dikembangkan melalui program
transmigrasi merupakan sebuah ekspresi material dari representasi mengenai
ruang yang hadir dalam otoritas politik dan birokrasi yang tetap ada sampai
pada sebuah ruang yang represif. Hal ini bisa dilihat bagaimana transmigrasi
pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan digunakan untuk memperluas pertanian
kapitalis di tempat-tempat yang jauh. Pemerintah Orde Baru juga menggunakan
transmigrasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional dengan
memperluas berbagai program pengembangan pertanian melalui skema intensifikasi
padi dan sistem contract farming.
Transmigrasi juga digunakan untuk
mengelola kelompok marginal (petani, perambah hutan, pekerja sektor informal di
perkotaan, petani kecil) untuk kemudian mengubahnya dalam sistem pertanian
kapitalis. Pembangunan infrastruktur di lokasi transmigrasi (jalan, pasar)
merupakan bagian yang digunakan untuk memfasilitsi pennyebaran industrialisasi).
Dalam konteks militer, transmigrasi juga menjadi mekanisme pemerintah Indonesia
untuk mengamankan wilayah-wilayah perbatasan atau wilayah-wilayah yang jauh dan
tidak stabil secara politis seperti: wilayah perbatasan di Kalimantan, wilayah
yang subur dengan gerakan separatis seperti Irian Jaya/Papua dan Aceh). Yang
terakhir, program transmigrasi juga menjadi bagian dari birokrasi pemerintah
untuk mengawasi dan mengontrol baik kelompok migran itu sendiri maupun kelompok
lokal yang berada di daerah transmigran dengan menempatkan mereka dalam
struktur administrasi negara. Pemukiman transmigrasi merefleksikan sebuah
struktur birokrasi pedesaan yang top-down.
Dalam konteks politik spasial di
Indonesia, dipahami sebuah konsep mengenai 'komunitas terbayang' atau
‘komunitas imajiner’ (imagined community)
yang mengacu pada sekelompok individu yang memiliki ikatan dalam skala luas dan
memungkinkan mereka untuk melakukan kontak secara langsung. Dalam konteks
mengimajinasikan Indonesia inilah, Pemberton menyebutkan bahwa Indonesia
diimajinasikan berasal dari budaya keraton di Jawa Tengah dimana didalamnya
sebuah retorika budaya mengkerangkai politik yang ada. Proses ini yang kemudian
mengacu pada 'Jawanisasi' atau memperluas hegemoni budaya Jawa ke seluruh
kepulauan Indonesia. Kekuatan politik dan dominasi budaya di Indonesia memiliki
dampak yang penting pada berbagai kelompok budaya Indonesia ketika mereka
diminta untuk mengimajinasikan apa itu Indonesia.
Proses-proses dominasi budaya di
Indonesia sebagai akar dari negara Jawa merupakan sebuah metafor dan pusat
geografis. Dari sinilah kemudian dikenal terminologi 'inner’ Indonesia (Jawa dan Bali) dengan ‘outer’ Indonesia (pulau-pulau yang lain). Muncul juga pencirian
yang lain yaitu pusat populasi persawahan yang padat (sebagian besar Jawa,
Bali, sebagian Sumatra Barat dan Sulawesi) yang ditandai dengan meningkatnya
pendapatan para pemilik tanah, meningkatnya harga sewa, kontrol tanah oleh
kelompok elit dan populasi dataran tinggi pinggiran (upland margins) yang
meliputi Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya yang menjadi subjek dari kontrol
birokrasi yang kurang sempurna dimana masyarakatnya ditekan dalam kepemilikan
sumberdaya dan dimana ekstraksi sumberdaya (melalui perkebunan agroindustri,
pertambangan, penebangan kayu) yang dilakukan oleh pusat terjadi dan merusak
livelihood lokal.
Terminologi 'pusat' dan 'pinggiran'
untuk memformulasikan adanya kesenjangan ekonomi, politik dan budaya.
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam kategori margin ini, memiliki berbagai
kekuatan yang dapat mengancam kesatuan nasional dan mengaburkan imajinasi
tentang komunitas Indonesia (dicontohkan dengan Aceh dan Irian Jaya/Papua). Sebagai
sebuah kebijakan pembangunan, transmigrasi menjadi kepanjangan tangan yang
penting bagi negara untuk mengendalikan wilayahnya yang seringkali juga
didukung oleh kehadiran militer.
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
Referensi:
Rebecca Elmhirst. 1999. "Space,
Identity Politics and Resource Control in Indonesia's Transmigration Programme". Political Geography ,Volume 18,
p. 813-835. www.elsevier.com
[1]
Dalam konteks pedesaan di Indonesia, beberapa praktek spasial yang berbeda
dapat diamati dari rutinitas religius, pertanian subsisten, persepsi-persepsi
mengenai pengelolaan hutan, ladang dan padang rumput serta kemampuan ruang yang
dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang melekat dengan paham moral ekonomi.
No comments:
Post a Comment