Friday, May 20, 2016

Transmigrasi


Transmigrasi dan Politik Pengendalian Ruang





Transmigrasi merupakan instrumen kebijakan pembangunan di Indonesia yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepadatan populasi di wilayah-wilayah inner Indonesia (Jawa, Bali dan Madura) dengan wilayah-wilayah terluar atau outer areas seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sejumlah pulau-pulau lain di wilayah Indonesia bagian Timur. Skema produksi ruang menempatkan transmigrasi sebagai sebuah representasi khusus dari ruang yang melekat dalam pemikiran birokrasi di Indonesia.
Berkaitan dengan ruang Lefebvre mengungkapkan konsep spasialitas sosial yaitu ruang sebagai sebuah kategori sosial yang diproduksi melalui dinamika relasi-relasi sosial yang kemudian dikenal dengan konstruksi 'conceptual triad'. Terdapat tiga tipe ruang menurut Lefebvre. Pertama adalah spatial practice yaitu dialektika relasi antara masyarakat dengan ruang yang diproduksinya. Ini dipahami sebagai pengorganisasian kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan ruang dan menghadirkannya dalam struktur kehidupan sehari-hari, memastikan kohesi sosial dan kontinuitas.
Kedua adalah representasi ruang yaitu konseptualisasi ruang, yang dibuat oleh ilmuwan, perencana, ahli perkotaan, teknokrat atau para perekayasa sosial. Representasi ruang berkaitan dengan relasi produksi dan beberapa hal seperti hegemoni, kodifikasi dan tatanan, memiliki peran substantif dalam produksi ruang. Dalam konteks transmigrasi, bisa dikatakan bahwa transmigrasi merupakan bagian dari instrumen representasi ruang yang muncul dari imajinasi pembangunan para teknokrat Orde Baru dan dukungan internasional.
Ketiga, ruang representasional atau ruang representasi yaitu ruang yang secara langsung dilekatkan dengan gambaran atau simbol-simbol, ruang yang ditinggali atau digunakan. Ini diintepretasikan sebagai pemaknaan tempat dan nilai simboliknya, ruang dimana orang mencipta melalui modifikasi lingkungan.  Dalam konteks inilah, social space atau ruang sosial dimunculkan untuk melihat program transmigrasi pemerintah sebagai bagian dari hegemoni representasi dari otoritas negara. Konsep ruang sosial ini penting untuk bisa melihat dimensi ekonomi, politis dan kultural dari hegemoni spasial transmigrasi dan sebuah komunitas yang dibayangkan.[1]
 Pemukiman yang dikembangkan melalui program transmigrasi merupakan sebuah ekspresi material dari representasi mengenai ruang yang hadir dalam otoritas politik dan birokrasi yang tetap ada sampai pada sebuah ruang yang represif. Hal ini bisa dilihat bagaimana transmigrasi pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan digunakan untuk memperluas pertanian kapitalis di tempat-tempat yang jauh. Pemerintah Orde Baru juga menggunakan transmigrasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional dengan memperluas berbagai program pengembangan pertanian melalui skema intensifikasi padi dan sistem contract farming.
Transmigrasi juga digunakan untuk mengelola kelompok marginal (petani, perambah hutan, pekerja sektor informal di perkotaan, petani kecil) untuk kemudian mengubahnya dalam sistem pertanian kapitalis. Pembangunan infrastruktur di lokasi transmigrasi (jalan, pasar) merupakan bagian yang digunakan untuk memfasilitsi pennyebaran industrialisasi). Dalam konteks militer, transmigrasi juga menjadi mekanisme pemerintah Indonesia untuk mengamankan wilayah-wilayah perbatasan atau wilayah-wilayah yang jauh dan tidak stabil secara politis seperti: wilayah perbatasan di Kalimantan, wilayah yang subur dengan gerakan separatis seperti Irian Jaya/Papua dan Aceh). Yang terakhir, program transmigrasi juga menjadi bagian dari birokrasi pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol baik kelompok migran itu sendiri maupun kelompok lokal yang berada di daerah transmigran dengan menempatkan mereka dalam struktur administrasi negara. Pemukiman transmigrasi merefleksikan sebuah struktur birokrasi pedesaan yang top-down.





Dalam konteks politik spasial di Indonesia, dipahami sebuah konsep mengenai 'komunitas terbayang' atau ‘komunitas imajiner’ (imagined community) yang mengacu pada sekelompok individu yang memiliki ikatan dalam skala luas dan memungkinkan mereka untuk melakukan kontak secara langsung. Dalam konteks mengimajinasikan Indonesia inilah, Pemberton menyebutkan bahwa Indonesia diimajinasikan berasal dari budaya keraton di Jawa Tengah dimana didalamnya sebuah retorika budaya mengkerangkai politik yang ada. Proses ini yang kemudian mengacu pada 'Jawanisasi' atau memperluas hegemoni budaya Jawa ke seluruh kepulauan Indonesia. Kekuatan politik dan dominasi budaya di Indonesia memiliki dampak yang penting pada berbagai kelompok budaya Indonesia ketika mereka diminta untuk mengimajinasikan apa itu Indonesia.
Proses-proses dominasi budaya di Indonesia sebagai akar dari negara Jawa merupakan sebuah metafor dan pusat geografis. Dari sinilah kemudian dikenal terminologi 'inner’ Indonesia (Jawa dan Bali) dengan ‘outer’ Indonesia (pulau-pulau yang lain). Muncul juga pencirian yang lain yaitu pusat populasi persawahan yang padat (sebagian besar Jawa, Bali, sebagian Sumatra Barat dan Sulawesi) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan para pemilik tanah, meningkatnya harga sewa, kontrol tanah oleh kelompok elit dan populasi dataran tinggi pinggiran (upland margins) yang meliputi Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya yang menjadi subjek dari kontrol birokrasi yang kurang sempurna dimana masyarakatnya ditekan dalam kepemilikan sumberdaya dan dimana ekstraksi sumberdaya (melalui perkebunan agroindustri, pertambangan, penebangan kayu) yang dilakukan oleh pusat terjadi dan merusak livelihood lokal.
Terminologi 'pusat' dan 'pinggiran' untuk memformulasikan adanya kesenjangan ekonomi, politik dan budaya. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam kategori margin ini, memiliki berbagai kekuatan yang dapat mengancam kesatuan nasional dan mengaburkan imajinasi tentang komunitas Indonesia (dicontohkan dengan Aceh dan Irian Jaya/Papua). Sebagai sebuah kebijakan pembangunan, transmigrasi menjadi kepanjangan tangan yang penting bagi negara untuk mengendalikan wilayahnya yang seringkali juga didukung oleh kehadiran militer.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)


Referensi:
Rebecca Elmhirst. 1999. "Space, Identity Politics and Resource Control in Indonesia's Transmigration Programme". Political Geography ,Volume 18, p. 813-835. www.elsevier.com


[1] Dalam konteks pedesaan di Indonesia, beberapa praktek spasial yang berbeda dapat diamati dari rutinitas religius, pertanian subsisten, persepsi-persepsi mengenai pengelolaan hutan, ladang dan padang rumput serta kemampuan ruang yang dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang melekat dengan paham moral ekonomi.

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...