Tuesday, May 24, 2016

Ekofeminisme



Wangari Maathai dan Green Belt Movement: Merefleksikan Ekofeminisme  
dalam Konteks Gerakan Lingkungan di Kenya-Afrika




Wangari Maathai adalah aktivis lingkungan dan wanita Afrika pertama yang menerima Nobel perdamaian pada tahun 2004. Wangari Maathai selama 35 tahun telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dengan mengkampanyekan demokrasi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Kenya dengan tidak hanya memerangi deforestasi dan kemiskinan, tetapi berbagai pengabaian dan penindasan politik serta ekonomi. Ia melihat bagaimana sekembalinya dari studi, ia menemukan wanita di desanya begitu kesulitan untuk memperoleh kayu bakar dan air.[1] Anak-anak mengalami banyak penyakit akibat kekurangan gizi. Dari sinilah ide untuk menanam pohon itu kemudian dimulai.
Deforestasi merupakan sebuah gambaran patologi kronis yang berakar pada kolonialisme. Kolonialialisme Inggris hadir ibarat teorisme yang melemahkan infrastruktur budaya lokal dan menempatkan masyarakat asli pada posisi yang inferior. Kehadiran kolonialisme dengan budaya mengkomersilkan alam yang menyebabkan kerusakan ekologis, dilanjutkan oleh pimpinan-pimpinan di Kenya pasca kemerdekaan dengan melanjutkan kebijakan lingkungan yang merusak seperti penyediaan kayu, teh, kopi, dan tanaman pangan lain untuk perdagangan internasional.
Green Belt Movement merupakan organisasi akar rumput, NGO yang berbasis di Kenya yang memfokuskan gerakannya pada konservasi lingkungan, komunitas dan capacity building. GBM dibentuk untuk merespon kebutuhan para wanita di Kenya yang kesulitan untuk memperoleh kayu bakar, air bersih untuk diminum, sumber makanan, tempat tinggal dan pendapatan. Tujuan GBM adalah membangun sabuk hijau dan plot kayu bakar oleh masyarakat lokal terutama perempuan dalam semangat berdikari dan pemberdayaan untuk memerangi erosi tanah. Maathai melakukan advokasi pada hak-hak perempuan yang seringkali sangat mudah diceraikan oleh suaminya karena dianggap 'too educated', 'too strong', 'too succesfull', 'too stubborn', too hard to control'



Ada satu keyakinan dalam masyarakat Kenya bahwa seorang perempuan Afrika yang baik seharusnya bergantung, tunduk dan tidak lebih baik dari suaminya (to be dependent, submissive, and not better than her husband). Dalam konteks inilah, perempuan Kenya digambarkan memiliki posisi yang sangat subordinat dibandingkan pria seperti dapat dicermati berikut ini:

“It was un-African and unimaginable for a woman to challenge or oppose men. Male authority was divinely determined and should therefore not be challenged. In almost every kenyan Culture, the female is seen as inferior and always ranked among children. Since women and children are considered lesser beings, they are required to serve the men. Men on the other hand are seen as authoritative decision makers in the private and public spheres whose authority is not to be questioned. Divorce is culturally stigmased and divorced woman in Kenyan society is considered a disgrace, someone who lacks social respectability in contrast to a 'decent' woman who is expected to uphold her marriage at all cost.” (Muthuki, 2006:30).


Maathai menyuarakan keberanian perempuan untuk bisa mencegah kerusakan hutan, mengakhiri pengelolaan yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia seperti perang suku dan korupsi. Strategi pertama yang dilakukan adalah dengan memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam berbagai level pengambilan keputusan di pemerintahan. Representasi perempuan yang lebih besar dalam pemerintahan diharapkan dalam membawa perubahan pada dominasi pria dalam parlemen. Strategi kedua yang dilakukan oleh Maathai adalah dengan mengintegrasikan perspektif gender pada kebijakan dan program-program pembangunan berkelanjutan. Pada banyak kasus, perspektif gender seringkali tidak mendapat prioritas perhatian nasional sehingga mengakibatkan perempuan termarjinalisasikan. Strategi yang ketiga adalah penguatan mekanisme nasional, regional dan internasional untuk menganalisis dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan bagi perempuan. Persoalan pembangunan dan kesetaraan gender di Afrika dapat dilihat dari struktur pratriarki tradisional di Afrika yang menganggap bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan perempuan hanya diharapkan untuk tunduk. Laki-laki dilihat sebagai pengambil keputusan yang otoritatif baik di ruang domestik maupun publik yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Kondisi ini masih diperburuk dengan warisan kolonial dimana sistem politik yang dipimpin laki-laki terus dilanjutkan. Hal ini merepresentasikan sistem yang memprioritaskan  dan menjunjung tinggi privelese laki-laki.




Sistem ekonomi kapitalis yang diperkenalkan oleh tatanan kolonial telah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini berlanjut dengan kebijakan ekonomi pemerintah Kenya yang pro-invetasi asing, dan prinsip-prinsip kepemilikan asing serta prinsip-prinsip kapitalis dalam produksi dan ekspoitasi sumberdaya alam. Kebijakan ini telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan kemiskinan. Ekstraksi sumberdaya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat asli, tetapi kemakmuran bagi pemerintah, perusahaan asing dan kaum elit di Selatan, yang pada akhirnya menciptakan disparitas yang sangat tinggi dalam sumberdaya dan distribusi pendapatan, dengan perempuan yang mengalami dampak terburuknya.
Maathai mengkampanyekan keragaman kultural dalam pengetahuan lokal. Mereka menolak hegemoni dan dominasi paradigma pembangunan barat yang terbukti telah merampas sumberdaya alam yang ada. Maathai menunjukan bahwa kepemimpinan yang dikombinasikan dengan pengetahuan dan pengalaman dapat menciptakan kekuatan yang sangat besar bagi sebuah perubahan. Maathai menunjukan bahwa 'too educated, too strong, too sucessfull, too stubborn and too hard control' harus diletakan dalam konteks kearifan dan pendekatan-pendekatan tradisional. Kerja-kerja yang dilakukan Maathai melalui GBM-nya, mengedepankan sebuah politik sosialis radikal untuk menantang struktur sosial yang menjadi penyebab kerusakan bumi dan sumberdaya alamnya. GBM juga menunjukan konseptualisasi pembangunan ekologi Afrika yang memposisikan perempuan, kelas dan perlindungan lingkungan sebagai elemen-elemen yang terintegrasi dalam perjuangan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam sebuah proses demokrasi.
Green Belt Movement menjadi contoh sebuah praxis ekofeminis materialis untuk menggerakkan kesadaran menuju demokrasi dan keadilan lingkungan. Ekofeminisme secara khusus merupakan sebuah kritik terhadap hegemoni dimana pengabaian terhadap perspektif ekofeminisme bisa diartikan sebagai bagian dari hegemoni itu sendiri. Ekofeminisme memberikan satu gambaran tentang konsep kekuasaan dan retorika kritik terhadap keadilan lingkungan. Feminisme merupakan instrumen untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang dialami oleh perempuan di Afrika. Kaum feminis Afrika mengupayakan kesetaraan dengan memperjuangkan keterlibatan mereka di wilayah publik dan mendukung otonomi mereka dalam pengambilan keputusan. Perpektif ekofeminis Afrika berupaya merekonstruksi homogenisasi pemikiran Barat dengan memunculkan kekhususan sejarah yang menciptakan tekanan ekologis dan berbagai persoalan sosial yang menyebabkan beban berat yang harus ditanggung oleh perempuan.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Referensi

Hunt, Kathleen P. 2014. "Its More Than Planting Trees, Its Planting Ideas': Ecofeminist Praxis in the Green Belt Movement." Southern Communication Journal, Volume 79, No. 3, July-August 2014, pp. 235-249.
Muthuki, Janet . 2006. "Rethinking Ecofeminism: Wangari Maathai and The Green Belt Movement in Kenya." Research Article. Master of Social Science (Gender Studies). Faculty of Humanities, Development and Social Sciences. University of Kwazulu-Natal (Howard College Campus).
___________. 2006. "Challenging Partriarchal Structures: Wangari Maathai and the Green Belt Movement in Kenya". Agenda Empowering Women for Gender Equity, No. 69, Nairobi, pp. 82-91. http://www.jstor.org/stable/4066816





[1] Dapat dilihat dalam Film 'Taking Root: The Vision of Wangari Maathai'. Review film ini ditulis oleh Gary Hytrek dalam Teaching Sociology, Volume 40, No 1. January 2012, pp. 87-88. http://www.jstor.org/ stable/415033332.

No comments:

Post a Comment

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...