Wangari
Maathai dan Green Belt Movement:
Merefleksikan Ekofeminisme
dalam
Konteks Gerakan Lingkungan di Kenya-Afrika
Wangari Maathai adalah aktivis lingkungan dan
wanita Afrika pertama yang menerima Nobel perdamaian pada tahun 2004. Wangari
Maathai selama 35 tahun telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dengan
mengkampanyekan demokrasi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Kenya
dengan tidak hanya memerangi deforestasi dan kemiskinan, tetapi berbagai
pengabaian dan penindasan politik serta ekonomi. Ia melihat bagaimana
sekembalinya dari studi, ia menemukan wanita di desanya begitu kesulitan untuk
memperoleh kayu bakar dan air.[1]
Anak-anak mengalami banyak penyakit akibat kekurangan gizi. Dari sinilah ide
untuk menanam pohon itu kemudian dimulai.
Deforestasi merupakan sebuah
gambaran patologi kronis yang berakar pada kolonialisme. Kolonialialisme
Inggris hadir ibarat teorisme yang melemahkan infrastruktur budaya lokal dan
menempatkan masyarakat asli pada posisi yang inferior. Kehadiran kolonialisme
dengan budaya mengkomersilkan alam yang menyebabkan kerusakan ekologis,
dilanjutkan oleh pimpinan-pimpinan di Kenya pasca kemerdekaan dengan
melanjutkan kebijakan lingkungan yang merusak seperti penyediaan kayu, teh,
kopi, dan tanaman pangan lain untuk perdagangan internasional.
Green Belt Movement merupakan
organisasi akar rumput, NGO yang berbasis di Kenya yang memfokuskan gerakannya
pada konservasi lingkungan, komunitas dan capacity
building. GBM dibentuk untuk merespon kebutuhan para wanita di Kenya yang
kesulitan untuk memperoleh kayu bakar, air bersih untuk diminum, sumber
makanan, tempat tinggal dan pendapatan. Tujuan GBM adalah membangun sabuk hijau
dan plot kayu bakar oleh masyarakat lokal terutama perempuan dalam semangat
berdikari dan pemberdayaan untuk memerangi erosi tanah. Maathai melakukan
advokasi pada hak-hak perempuan yang seringkali sangat mudah diceraikan oleh
suaminya karena dianggap 'too educated',
'too strong', 'too succesfull', 'too stubborn', too hard to control'.
Ada satu keyakinan dalam
masyarakat Kenya bahwa seorang perempuan Afrika yang baik seharusnya
bergantung, tunduk dan tidak lebih baik dari suaminya (to be dependent, submissive, and not better than her husband).
Dalam konteks inilah, perempuan Kenya digambarkan memiliki posisi yang sangat
subordinat dibandingkan pria seperti dapat dicermati berikut ini:
“It was un-African and unimaginable for a
woman to challenge or oppose men. Male authority was divinely determined and
should therefore not be challenged. In almost every kenyan Culture, the female
is seen as inferior and always ranked among children. Since women and children
are considered lesser beings, they are required to serve the men. Men on the
other hand are seen as authoritative decision makers in the private and public
spheres whose authority is not to be questioned. Divorce is culturally
stigmased and divorced woman in Kenyan society is considered a disgrace,
someone who lacks social respectability in contrast to a 'decent' woman who is
expected to uphold her marriage at all cost.” (Muthuki, 2006:30).
Maathai menyuarakan keberanian perempuan untuk bisa
mencegah kerusakan hutan, mengakhiri pengelolaan yang buruk dan pelanggaran hak
asasi manusia seperti perang suku dan korupsi. Strategi pertama yang dilakukan
adalah dengan memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam berbagai level
pengambilan keputusan di pemerintahan. Representasi perempuan yang lebih besar
dalam pemerintahan diharapkan dalam membawa perubahan pada dominasi pria dalam
parlemen. Strategi kedua yang dilakukan oleh Maathai adalah dengan
mengintegrasikan perspektif gender pada kebijakan dan program-program
pembangunan berkelanjutan. Pada banyak kasus, perspektif gender seringkali
tidak mendapat prioritas perhatian nasional sehingga mengakibatkan perempuan
termarjinalisasikan. Strategi yang ketiga adalah penguatan mekanisme nasional,
regional dan internasional untuk menganalisis dampak pembangunan dan kebijakan
lingkungan bagi perempuan. Persoalan pembangunan dan kesetaraan gender di
Afrika dapat dilihat dari struktur pratriarki tradisional di Afrika yang
menganggap bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan perempuan hanya
diharapkan untuk tunduk. Laki-laki dilihat sebagai pengambil keputusan yang
otoritatif baik di ruang domestik maupun publik yang tidak perlu lagi
dipertanyakan. Kondisi ini masih diperburuk dengan warisan kolonial dimana
sistem politik yang dipimpin laki-laki terus dilanjutkan. Hal ini
merepresentasikan sistem yang memprioritaskan
dan menjunjung tinggi privelese laki-laki.
Sistem ekonomi kapitalis yang diperkenalkan oleh
tatanan kolonial telah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan menciptakan
ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini berlanjut dengan kebijakan ekonomi
pemerintah Kenya yang pro-invetasi asing, dan prinsip-prinsip kepemilikan asing
serta prinsip-prinsip kapitalis dalam produksi dan ekspoitasi sumberdaya alam.
Kebijakan ini telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan kemiskinan.
Ekstraksi sumberdaya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat asli, tetapi
kemakmuran bagi pemerintah, perusahaan asing dan kaum elit di Selatan, yang
pada akhirnya menciptakan disparitas yang sangat tinggi dalam sumberdaya dan
distribusi pendapatan, dengan perempuan yang mengalami dampak terburuknya.
Maathai mengkampanyekan
keragaman kultural dalam pengetahuan lokal. Mereka menolak hegemoni dan
dominasi paradigma pembangunan barat yang terbukti telah merampas sumberdaya
alam yang ada. Maathai menunjukan bahwa kepemimpinan yang dikombinasikan dengan
pengetahuan dan pengalaman dapat menciptakan kekuatan yang sangat besar bagi
sebuah perubahan. Maathai menunjukan bahwa 'too
educated, too strong, too sucessfull, too stubborn and too hard control'
harus diletakan dalam konteks kearifan dan pendekatan-pendekatan tradisional.
Kerja-kerja yang dilakukan Maathai melalui GBM-nya, mengedepankan sebuah
politik sosialis radikal untuk menantang struktur sosial yang menjadi penyebab
kerusakan bumi dan sumberdaya alamnya. GBM juga menunjukan konseptualisasi
pembangunan ekologi Afrika yang memposisikan perempuan, kelas dan perlindungan
lingkungan sebagai elemen-elemen yang terintegrasi dalam perjuangan untuk
pembangunan yang berkelanjutan dalam sebuah proses demokrasi.
Green Belt Movement menjadi contoh sebuah praxis ekofeminis
materialis untuk menggerakkan kesadaran menuju demokrasi dan keadilan
lingkungan. Ekofeminisme secara khusus merupakan sebuah kritik terhadap
hegemoni dimana pengabaian terhadap perspektif ekofeminisme bisa diartikan
sebagai bagian dari hegemoni itu sendiri. Ekofeminisme memberikan satu gambaran
tentang konsep kekuasaan dan retorika kritik terhadap keadilan lingkungan. Feminisme
merupakan instrumen untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang dialami oleh
perempuan di Afrika. Kaum feminis Afrika mengupayakan kesetaraan dengan
memperjuangkan keterlibatan mereka di wilayah publik dan mendukung otonomi
mereka dalam pengambilan keputusan. Perpektif ekofeminis Afrika berupaya
merekonstruksi homogenisasi pemikiran Barat dengan memunculkan kekhususan
sejarah yang menciptakan tekanan ekologis dan berbagai persoalan sosial yang
menyebabkan beban berat yang harus ditanggung oleh perempuan.
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
Referensi
Hunt, Kathleen P. 2014.
"Its More Than Planting Trees, Its Planting Ideas': Ecofeminist Praxis in
the Green Belt Movement." Southern
Communication Journal, Volume 79, No. 3, July-August 2014, pp. 235-249.
Muthuki, Janet . 2006.
"Rethinking Ecofeminism: Wangari Maathai and The Green Belt Movement in
Kenya." Research Article. Master of Social Science (Gender Studies).
Faculty of Humanities, Development and Social Sciences. University of
Kwazulu-Natal (Howard College Campus).
___________. 2006.
"Challenging Partriarchal Structures: Wangari Maathai and the Green Belt
Movement in Kenya". Agenda
Empowering Women for Gender Equity, No. 69, Nairobi, pp. 82-91.
http://www.jstor.org/stable/4066816
[1]
Dapat dilihat dalam Film 'Taking Root: The Vision of Wangari Maathai'. Review
film ini ditulis oleh Gary Hytrek dalam Teaching
Sociology, Volume 40, No 1. January 2012, pp. 87-88. http://www.jstor.org/ stable/415033332.
No comments:
Post a Comment