Friday, May 27, 2016

Giddens dan Bourdieu


 
Kubu Subjektifis Versus Objektifis:
 Memahami Strategi Transendensi Giddens dan Bourdieu




Nicos Mouzelis mengawali diskusinya dengan memunculkan konteks ‘war of paradigms’ atau perang paradigma yang terjadi dalam ilmu sosial akibat proliferasi paradigma-paradigma teoritis. Hal ini bisa dilihat dari kelompok intepretatif atau mikrososiologi yang menolak semua pandangan struktural fungsional sebagai sebuah reifikasi, sementara itu kelompok makro sosiolog menggarisbawahi karakter miopik atau remeh temeh dari kelompok mikrososiologi. Perbedaan juga dijumpai pada kelompok strukturalis yang melihat bahwa sosiologi konvensional (makro dan mikro sosiologi) tidak mampu mengungkap tatanan yang ada dibalik keteraturan yang terlembagakan dan hanya mampu melihat hal yang sangat permukaan atau dangkal (surface). Terakhir adalah pandangan kelompok postrukturalis, yang kembali pada pendekatan-pendekatan eksklusif mengenai praktik-praktik diskursif dan kontribusi mereka terhadap formasi subyektifitas/identitas. Dalam konteks perang paradigma inilah, Nicos Mouzelis memunculkan pandangan Giddens dan Bourdieu yang berupaya untuk melampaui kedua kubu subjektifisdan objektifis. Baik Giddens maupun Bourdieu berupaya untuk melampaui kegagalan pemisahan antara subyektifis dan obyektifis.

Dualitas struktur: Strategi Transendensi Giddens

Bagi Giddens, cara untuk mengatasi jurang antara subyektifis dan obyektifis adalah menteoritisasikan relasi subjek-objek dalam terminologi dualitas dan bukan dualisme. Mengacu pada Giddens, tipe pemisahan atau jarak antara subjek dengan objek menghasilkan kekhususan antara perspektif objektifis dan subjektifis - sebuah karakter yang menciptakan kesepakatan tanpa menghilangkan kontroversi dalam disiplin tersebut.
Giddens mengikuti perbedaan antara langue-parole dalam lingustik untuk mengkonseptualisasikan antara tatanan dunia virtual dengan sumberdaya (level paradigmatik), yang diaktualisasikan dalam level sintagmatik, dimana subjek digambarkan bertindak dalam konteks sosial yang konkret. Dari sudut pandang ini, struktur-struktur (aturan dan sumberdaya) tidak hanya menghambat tetapi juga memungkinkan. Mereka baik dalam cara (means) atau hasil (outcomes), means adalah cara subjek menggunakan aturan dan sumberdaya untuk bertindak dan berinteraksi, outcome adalah bahwa mereka juga mereproduksi struktur. Jika ini diterima, objek (struktur) bukan sesuatu yang terpisah dari subjek.
Menurut Giddens, kita tidak perlu bicara tentang dualisme subjek dan obyek, tetapi dualitas subjek dan objek. Konsep Giddens ini hanya memuaskan untuk menjelaskan penggunaan aturan dan sumberdaya oleh subjek dalam perilaku yang alamiah, tetapi tidak memuaskan untuk menjelaskan situasi dimana subjek mengambil jarak dari aturan dan sumberdaya untuk alasan investigasi atau monitoring. Konsep Giddens ini dikritik karena tidak memadai untuk menjelaskan kasus ketika aturan dan sumberdaya tidak bekerja sebagai cara bertindak tetapi sebagai tujuan strategis, sebagai obyek bahwa subjek mendekati secara teoritis, dan kritis.
Terdapat derajat jarak atau derajat strategi paradigmatik yang terkadang tidak terlalu menjadi pertimbangan tetapi di lain waktu bisa menjadi dominan. Mode dimana subjek berelasi dengan aturan dan sumberdaya selalu mengikutsertakan campuran antara praktikal, teoritikal dan orientasi strategi monitoring. Dominasi ini dapat berubah tergantung pada konteksnya. Paham refleksifitas yang digunakan Giddens tidak bisa menjustifikasi eliminasi pemahaman dualisme subjek-objek. Oleh karenanya diperlukan konsep yang memungkinkan kita untuk menyadari bahwa strategi distancing atau paradigmatik terkadang lemah atau tidak penting dan terkadang kuat atau sangat dominan. Kita memerlukan konsep yang menekankan bahwa relasi paradigmatik antara subyek dengan obyek dipahami, situasinya tidak konstan tetapi bervariasi. Oleh karenanya konsep refleksifitas tidak bisa dieliminasi tetapi sebaliknya, memerlukan penggunaaan dualitas subjek-objek seperti halnya dualisme dalam level paradigmatik.
Selanjutnya juga apa yang disebut Giddens dengan sistem sosial dan karakteristik strukturalnya hampir berdekatan dengan apa yang disebut Nicos sebagai struktur relasional dan distribusional dalam level sintagmatik. Faktanya ketika Giddens bergerak dari level paradigmatik (sistem virtual dari aturan dan sumberdaya) ke level sintagmatik (sistem sosial yang dibangun dari pola-pola relasi yang menggambarkan properti struktural) dalam level ini dualisme antara subjek dan objek diperkenalkan kembali. Teori strukturasi tidak memungkinkan variabilitas subjek-objek. Berbicara mengenai 'obyektif' eksistensi properti strukyural dimana individu tidak mungkin berubah menjelaskan bahwa diantara subjek dan objek sosial terdapat apa yang disebut Giddens sebagai objektifis atau sosiologi struktural. Perbedaan antara Nicos dengan Giddens adalah bahwa Giddens memberikan pembedaan yang jelas antara subjek dan objek dalam level sintagmatik tetapi tidak dalam level paradigmatik. Nicos sebaliknya berarguman bahwa perbedaan antara subjek-objek harus dilihat dari kedua lebel. Dalam level paradigmatik juga harus dilihat, sehingga ada perbedaan yang jelas antata subjek dan struktur sosial yang virtual (relasi atau distribusi alamiah).






Habitus : Strategi transendensi Bourdieu

Jika Giddens menyebutkan bahwa konsep dualitas struktur bisa mengkerangkai pemisahan antara subjektifis dan objektifis karena dualitas struktur menyinggung baik subjektif (struktur adalah tindakan dari subjek) dan objektif (struktur adalah hasil objektif, maka Bourdieu berupaya untuk menggunakan konsep habitusnya, yang mengacu pada disposisi subjek pada skema persepsi, kognisi dan evaluasi bahwa aktor memperolehnya dari sosialisasi yang berbeda-beda. Skema generatif atau disposisi ini disebut dengan internalisasi struktur sosial atau kelekatan sejarah.
Bagi Bourdieu, habitus memainkan peran 'transendensi'. Internalisasi dalam struktur sosial yang obyektif memerlukan objektifiti, sementara relasi subjek dalam konteks sosial yang spesifik memerlukan 'practical manner' ini yang kemudian disebut subjektifitas. Habitus memiliki karakter otomatis semu dan ketidaksadaran semu, dimana konteks objektif didalamnya adalah bahwa subjek tidak memiliki pengetahuan praktis mengenai hal tersebut. Bagi Bourdieu habitus bisa menjawab pemisahan subjektif dan objektif melalui ketidaksadaran struktural (objektif) dan elemen konstruksionis pendekatan subjektifis.
Kalau Giddens menggunakan strategi paradigmatik, Bourdieu menggunakan strategi sintagmatik. Bourdieu melihat praktik sosial sebagai hasil dari dimensi disposisional dalam sebuah permainan sosial. Konsepnya mengenai 'field’ (sebagai sebuah bangunan posisi-posisi sosial yang memerlukan power/kapital) mengacu pada struktur objektif. Habitus mengindikasikan bahwa struktur sosial diinternalisasikan serta internalisasi sosial struktur menjadi asal muasal dari praktik-praktik subjek. Dalam skema Bourdie praktik berasal dari: field (dimensi posisi) - habitus (dimensi disposisional)-praktik-praktik sosial. Yang hilang dalam skema ini adalah dimensi situasional interaktif. Praktik-praktik sosial tidak bisa sepenuhnya dijelaskan dalam terminologi posisi dan disposisi. Penjelasan mengenai kerelaan, dimensi interaktif situasional juga harus diperhitungkan.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Referensi
Mouzelis, Nicos P. 2008. Modern and Postmodern Social Theorizing: Bridging the Divide. New York: Cambridge University Press.

Tuesday, May 24, 2016

Ekofeminisme



Wangari Maathai dan Green Belt Movement: Merefleksikan Ekofeminisme  
dalam Konteks Gerakan Lingkungan di Kenya-Afrika




Wangari Maathai adalah aktivis lingkungan dan wanita Afrika pertama yang menerima Nobel perdamaian pada tahun 2004. Wangari Maathai selama 35 tahun telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dengan mengkampanyekan demokrasi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Kenya dengan tidak hanya memerangi deforestasi dan kemiskinan, tetapi berbagai pengabaian dan penindasan politik serta ekonomi. Ia melihat bagaimana sekembalinya dari studi, ia menemukan wanita di desanya begitu kesulitan untuk memperoleh kayu bakar dan air.[1] Anak-anak mengalami banyak penyakit akibat kekurangan gizi. Dari sinilah ide untuk menanam pohon itu kemudian dimulai.
Deforestasi merupakan sebuah gambaran patologi kronis yang berakar pada kolonialisme. Kolonialialisme Inggris hadir ibarat teorisme yang melemahkan infrastruktur budaya lokal dan menempatkan masyarakat asli pada posisi yang inferior. Kehadiran kolonialisme dengan budaya mengkomersilkan alam yang menyebabkan kerusakan ekologis, dilanjutkan oleh pimpinan-pimpinan di Kenya pasca kemerdekaan dengan melanjutkan kebijakan lingkungan yang merusak seperti penyediaan kayu, teh, kopi, dan tanaman pangan lain untuk perdagangan internasional.
Green Belt Movement merupakan organisasi akar rumput, NGO yang berbasis di Kenya yang memfokuskan gerakannya pada konservasi lingkungan, komunitas dan capacity building. GBM dibentuk untuk merespon kebutuhan para wanita di Kenya yang kesulitan untuk memperoleh kayu bakar, air bersih untuk diminum, sumber makanan, tempat tinggal dan pendapatan. Tujuan GBM adalah membangun sabuk hijau dan plot kayu bakar oleh masyarakat lokal terutama perempuan dalam semangat berdikari dan pemberdayaan untuk memerangi erosi tanah. Maathai melakukan advokasi pada hak-hak perempuan yang seringkali sangat mudah diceraikan oleh suaminya karena dianggap 'too educated', 'too strong', 'too succesfull', 'too stubborn', too hard to control'



Ada satu keyakinan dalam masyarakat Kenya bahwa seorang perempuan Afrika yang baik seharusnya bergantung, tunduk dan tidak lebih baik dari suaminya (to be dependent, submissive, and not better than her husband). Dalam konteks inilah, perempuan Kenya digambarkan memiliki posisi yang sangat subordinat dibandingkan pria seperti dapat dicermati berikut ini:

“It was un-African and unimaginable for a woman to challenge or oppose men. Male authority was divinely determined and should therefore not be challenged. In almost every kenyan Culture, the female is seen as inferior and always ranked among children. Since women and children are considered lesser beings, they are required to serve the men. Men on the other hand are seen as authoritative decision makers in the private and public spheres whose authority is not to be questioned. Divorce is culturally stigmased and divorced woman in Kenyan society is considered a disgrace, someone who lacks social respectability in contrast to a 'decent' woman who is expected to uphold her marriage at all cost.” (Muthuki, 2006:30).


Maathai menyuarakan keberanian perempuan untuk bisa mencegah kerusakan hutan, mengakhiri pengelolaan yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia seperti perang suku dan korupsi. Strategi pertama yang dilakukan adalah dengan memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam berbagai level pengambilan keputusan di pemerintahan. Representasi perempuan yang lebih besar dalam pemerintahan diharapkan dalam membawa perubahan pada dominasi pria dalam parlemen. Strategi kedua yang dilakukan oleh Maathai adalah dengan mengintegrasikan perspektif gender pada kebijakan dan program-program pembangunan berkelanjutan. Pada banyak kasus, perspektif gender seringkali tidak mendapat prioritas perhatian nasional sehingga mengakibatkan perempuan termarjinalisasikan. Strategi yang ketiga adalah penguatan mekanisme nasional, regional dan internasional untuk menganalisis dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan bagi perempuan. Persoalan pembangunan dan kesetaraan gender di Afrika dapat dilihat dari struktur pratriarki tradisional di Afrika yang menganggap bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan perempuan hanya diharapkan untuk tunduk. Laki-laki dilihat sebagai pengambil keputusan yang otoritatif baik di ruang domestik maupun publik yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Kondisi ini masih diperburuk dengan warisan kolonial dimana sistem politik yang dipimpin laki-laki terus dilanjutkan. Hal ini merepresentasikan sistem yang memprioritaskan  dan menjunjung tinggi privelese laki-laki.




Sistem ekonomi kapitalis yang diperkenalkan oleh tatanan kolonial telah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini berlanjut dengan kebijakan ekonomi pemerintah Kenya yang pro-invetasi asing, dan prinsip-prinsip kepemilikan asing serta prinsip-prinsip kapitalis dalam produksi dan ekspoitasi sumberdaya alam. Kebijakan ini telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan kemiskinan. Ekstraksi sumberdaya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat asli, tetapi kemakmuran bagi pemerintah, perusahaan asing dan kaum elit di Selatan, yang pada akhirnya menciptakan disparitas yang sangat tinggi dalam sumberdaya dan distribusi pendapatan, dengan perempuan yang mengalami dampak terburuknya.
Maathai mengkampanyekan keragaman kultural dalam pengetahuan lokal. Mereka menolak hegemoni dan dominasi paradigma pembangunan barat yang terbukti telah merampas sumberdaya alam yang ada. Maathai menunjukan bahwa kepemimpinan yang dikombinasikan dengan pengetahuan dan pengalaman dapat menciptakan kekuatan yang sangat besar bagi sebuah perubahan. Maathai menunjukan bahwa 'too educated, too strong, too sucessfull, too stubborn and too hard control' harus diletakan dalam konteks kearifan dan pendekatan-pendekatan tradisional. Kerja-kerja yang dilakukan Maathai melalui GBM-nya, mengedepankan sebuah politik sosialis radikal untuk menantang struktur sosial yang menjadi penyebab kerusakan bumi dan sumberdaya alamnya. GBM juga menunjukan konseptualisasi pembangunan ekologi Afrika yang memposisikan perempuan, kelas dan perlindungan lingkungan sebagai elemen-elemen yang terintegrasi dalam perjuangan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam sebuah proses demokrasi.
Green Belt Movement menjadi contoh sebuah praxis ekofeminis materialis untuk menggerakkan kesadaran menuju demokrasi dan keadilan lingkungan. Ekofeminisme secara khusus merupakan sebuah kritik terhadap hegemoni dimana pengabaian terhadap perspektif ekofeminisme bisa diartikan sebagai bagian dari hegemoni itu sendiri. Ekofeminisme memberikan satu gambaran tentang konsep kekuasaan dan retorika kritik terhadap keadilan lingkungan. Feminisme merupakan instrumen untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang dialami oleh perempuan di Afrika. Kaum feminis Afrika mengupayakan kesetaraan dengan memperjuangkan keterlibatan mereka di wilayah publik dan mendukung otonomi mereka dalam pengambilan keputusan. Perpektif ekofeminis Afrika berupaya merekonstruksi homogenisasi pemikiran Barat dengan memunculkan kekhususan sejarah yang menciptakan tekanan ekologis dan berbagai persoalan sosial yang menyebabkan beban berat yang harus ditanggung oleh perempuan.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Referensi

Hunt, Kathleen P. 2014. "Its More Than Planting Trees, Its Planting Ideas': Ecofeminist Praxis in the Green Belt Movement." Southern Communication Journal, Volume 79, No. 3, July-August 2014, pp. 235-249.
Muthuki, Janet . 2006. "Rethinking Ecofeminism: Wangari Maathai and The Green Belt Movement in Kenya." Research Article. Master of Social Science (Gender Studies). Faculty of Humanities, Development and Social Sciences. University of Kwazulu-Natal (Howard College Campus).
___________. 2006. "Challenging Partriarchal Structures: Wangari Maathai and the Green Belt Movement in Kenya". Agenda Empowering Women for Gender Equity, No. 69, Nairobi, pp. 82-91. http://www.jstor.org/stable/4066816





[1] Dapat dilihat dalam Film 'Taking Root: The Vision of Wangari Maathai'. Review film ini ditulis oleh Gary Hytrek dalam Teaching Sociology, Volume 40, No 1. January 2012, pp. 87-88. http://www.jstor.org/ stable/415033332.

Friday, May 20, 2016

Transmigrasi


Transmigrasi dan Politik Pengendalian Ruang





Transmigrasi merupakan instrumen kebijakan pembangunan di Indonesia yang bertujuan untuk menyeimbangkan kepadatan populasi di wilayah-wilayah inner Indonesia (Jawa, Bali dan Madura) dengan wilayah-wilayah terluar atau outer areas seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan sejumlah pulau-pulau lain di wilayah Indonesia bagian Timur. Skema produksi ruang menempatkan transmigrasi sebagai sebuah representasi khusus dari ruang yang melekat dalam pemikiran birokrasi di Indonesia.
Berkaitan dengan ruang Lefebvre mengungkapkan konsep spasialitas sosial yaitu ruang sebagai sebuah kategori sosial yang diproduksi melalui dinamika relasi-relasi sosial yang kemudian dikenal dengan konstruksi 'conceptual triad'. Terdapat tiga tipe ruang menurut Lefebvre. Pertama adalah spatial practice yaitu dialektika relasi antara masyarakat dengan ruang yang diproduksinya. Ini dipahami sebagai pengorganisasian kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan ruang dan menghadirkannya dalam struktur kehidupan sehari-hari, memastikan kohesi sosial dan kontinuitas.
Kedua adalah representasi ruang yaitu konseptualisasi ruang, yang dibuat oleh ilmuwan, perencana, ahli perkotaan, teknokrat atau para perekayasa sosial. Representasi ruang berkaitan dengan relasi produksi dan beberapa hal seperti hegemoni, kodifikasi dan tatanan, memiliki peran substantif dalam produksi ruang. Dalam konteks transmigrasi, bisa dikatakan bahwa transmigrasi merupakan bagian dari instrumen representasi ruang yang muncul dari imajinasi pembangunan para teknokrat Orde Baru dan dukungan internasional.
Ketiga, ruang representasional atau ruang representasi yaitu ruang yang secara langsung dilekatkan dengan gambaran atau simbol-simbol, ruang yang ditinggali atau digunakan. Ini diintepretasikan sebagai pemaknaan tempat dan nilai simboliknya, ruang dimana orang mencipta melalui modifikasi lingkungan.  Dalam konteks inilah, social space atau ruang sosial dimunculkan untuk melihat program transmigrasi pemerintah sebagai bagian dari hegemoni representasi dari otoritas negara. Konsep ruang sosial ini penting untuk bisa melihat dimensi ekonomi, politis dan kultural dari hegemoni spasial transmigrasi dan sebuah komunitas yang dibayangkan.[1]
 Pemukiman yang dikembangkan melalui program transmigrasi merupakan sebuah ekspresi material dari representasi mengenai ruang yang hadir dalam otoritas politik dan birokrasi yang tetap ada sampai pada sebuah ruang yang represif. Hal ini bisa dilihat bagaimana transmigrasi pada masa kolonial dan pasca kemerdekaan digunakan untuk memperluas pertanian kapitalis di tempat-tempat yang jauh. Pemerintah Orde Baru juga menggunakan transmigrasi untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional dengan memperluas berbagai program pengembangan pertanian melalui skema intensifikasi padi dan sistem contract farming.
Transmigrasi juga digunakan untuk mengelola kelompok marginal (petani, perambah hutan, pekerja sektor informal di perkotaan, petani kecil) untuk kemudian mengubahnya dalam sistem pertanian kapitalis. Pembangunan infrastruktur di lokasi transmigrasi (jalan, pasar) merupakan bagian yang digunakan untuk memfasilitsi pennyebaran industrialisasi). Dalam konteks militer, transmigrasi juga menjadi mekanisme pemerintah Indonesia untuk mengamankan wilayah-wilayah perbatasan atau wilayah-wilayah yang jauh dan tidak stabil secara politis seperti: wilayah perbatasan di Kalimantan, wilayah yang subur dengan gerakan separatis seperti Irian Jaya/Papua dan Aceh). Yang terakhir, program transmigrasi juga menjadi bagian dari birokrasi pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol baik kelompok migran itu sendiri maupun kelompok lokal yang berada di daerah transmigran dengan menempatkan mereka dalam struktur administrasi negara. Pemukiman transmigrasi merefleksikan sebuah struktur birokrasi pedesaan yang top-down.





Dalam konteks politik spasial di Indonesia, dipahami sebuah konsep mengenai 'komunitas terbayang' atau ‘komunitas imajiner’ (imagined community) yang mengacu pada sekelompok individu yang memiliki ikatan dalam skala luas dan memungkinkan mereka untuk melakukan kontak secara langsung. Dalam konteks mengimajinasikan Indonesia inilah, Pemberton menyebutkan bahwa Indonesia diimajinasikan berasal dari budaya keraton di Jawa Tengah dimana didalamnya sebuah retorika budaya mengkerangkai politik yang ada. Proses ini yang kemudian mengacu pada 'Jawanisasi' atau memperluas hegemoni budaya Jawa ke seluruh kepulauan Indonesia. Kekuatan politik dan dominasi budaya di Indonesia memiliki dampak yang penting pada berbagai kelompok budaya Indonesia ketika mereka diminta untuk mengimajinasikan apa itu Indonesia.
Proses-proses dominasi budaya di Indonesia sebagai akar dari negara Jawa merupakan sebuah metafor dan pusat geografis. Dari sinilah kemudian dikenal terminologi 'inner’ Indonesia (Jawa dan Bali) dengan ‘outer’ Indonesia (pulau-pulau yang lain). Muncul juga pencirian yang lain yaitu pusat populasi persawahan yang padat (sebagian besar Jawa, Bali, sebagian Sumatra Barat dan Sulawesi) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan para pemilik tanah, meningkatnya harga sewa, kontrol tanah oleh kelompok elit dan populasi dataran tinggi pinggiran (upland margins) yang meliputi Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya yang menjadi subjek dari kontrol birokrasi yang kurang sempurna dimana masyarakatnya ditekan dalam kepemilikan sumberdaya dan dimana ekstraksi sumberdaya (melalui perkebunan agroindustri, pertambangan, penebangan kayu) yang dilakukan oleh pusat terjadi dan merusak livelihood lokal.
Terminologi 'pusat' dan 'pinggiran' untuk memformulasikan adanya kesenjangan ekonomi, politik dan budaya. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam kategori margin ini, memiliki berbagai kekuatan yang dapat mengancam kesatuan nasional dan mengaburkan imajinasi tentang komunitas Indonesia (dicontohkan dengan Aceh dan Irian Jaya/Papua). Sebagai sebuah kebijakan pembangunan, transmigrasi menjadi kepanjangan tangan yang penting bagi negara untuk mengendalikan wilayahnya yang seringkali juga didukung oleh kehadiran militer.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)


Referensi:
Rebecca Elmhirst. 1999. "Space, Identity Politics and Resource Control in Indonesia's Transmigration Programme". Political Geography ,Volume 18, p. 813-835. www.elsevier.com


[1] Dalam konteks pedesaan di Indonesia, beberapa praktek spasial yang berbeda dapat diamati dari rutinitas religius, pertanian subsisten, persepsi-persepsi mengenai pengelolaan hutan, ladang dan padang rumput serta kemampuan ruang yang dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang melekat dengan paham moral ekonomi.

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...