Transnational Corporation, Praktik Bisnis, dan
Permasalahan
Lingkungan di Dunia Ketiga
Bisnis dalam konteks aktor maupun praktiknya
berkaitan erat dengan permasalahan lingkungan yang terjadi di negara-negara
dunia ketiga. TNCs sebagai wujud dari aktor bisnis internasional dan ‘bisnis
lokal’ yang merepresentasikan aktor di negara dunia ketiga memiliki
karakteristiknya yang khas dalam relasinya dengan praktik bisnis dan politisasi
lingkungan yang dilakukan. Praktik bisnis merupakan bagian dari logika
akumulasi kapital yang juga berarti ekstraksi sumberdaya alam untuk memperoleh
surplus atau manfaat. Bisnis dan krisis lingkungan akan segera dipahami sebagai
relasi sebab dan akibat. Krisis lingkungan merupakan akibat dari
praktek-praktek bisnis yang abai terhadap lingkungan.
Secara umum dipahami bahwa ‘bisnis’
lekat dengan praktik-praktik ekonomi yang berorientasi pada profit, sehingga
sangat wajar untuk tidak memprioritaskan kepentingan lain di luar orientasi
utama tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Bryant dan Bailey (1997), peran
bisnis dalam krisis lingkungan yang terjadi di dunia ketiga, sangatlah penting.
Semakin pesatnya bisnis baik yang diinisiasi oleh perusahaan transnasional
(TNCs) maupun bisnis-bisnis lokal, telah berdampak pada ketimpangan sosial dan
degradasi lingkungan di dunia ketiga. Praktik bisnis adalah praktik eksploitasi
sumber daya yang muncul dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti: pertambangan,
perkebunan, ataupun peternakan dan sebagainya.
Bisnis
merupakan wujud nyata dari sistem kapitalisme global. Kapitaslime global yang
meluas di negara-negara dunia ketiga, telah megubah kondisi sosial, ekonomi,
politik serta ekologi di negara-negara dunia ketiga, termasuk diantaranya
adalah terjadinya krisis lingkungan. Dalam konteks krisis lingkungan dan sistem
kapitalisme global, ada beberapa relasi penting antara negara dunia ketiga dan
negara pertama yang perlu dicermati. Pertama adalah posisi negara dunia
ketiga sebagai ‘penyedia sumberdaya’ (storehouse)
bagi negara dunia pertama.[1] Kedua
adalah logika akumulasi dimana pemilik modal (kapitalis) berperan dalam
mengontrol produksi dan mengatur bagaimana sumberdaya diperoleh, digunakan
serta didistribusikan dari produsen ke non-produsen. Ketiga adalah
kontradiksi antara logika akumulasi kapital dengan lingkungan. Logika akumulasi
yang berkembang dalam sistem kapitalisme bisa menjadi ancaman bagi kelestarian
lingkungan. Praktik-praktik akumulasi jamak dilakukan dengan pengambilan
surplus atau manfaat yang seringkali bersifat destruktif dan mengabaikan
masyarakat serta ekosistem yang ada.
Keempat adalah
dominasi kapitalisme pada praktik pengelolaan lingkungan yang dilakukan secara
tradisional oleh masyarakat. Kapitalisme telah mengintegrasikan masyarakat dan
lingkungan ke dalam sistem yang luas dimana yang terjadi kemudian adalah
hilangnya kontrol masyarakat (kelompok akar rumput) terhadap sumber-sumber penghidupan
(livelihood) mereka. Masyarakat
kehilangan kemampuan untuk memelihara livelihood secara independen, sehingga
harus sangat bergantung pada aktor-aktor dari luar.
Kelima adalah
praktik bisnis kapitalisme global yang bertumpu pada upaya untuk memperoleh
sumberdaya alam dan tenaga kerja yang murah. Sumberdaya alam dan tenaga kerja
yang murah adalah kunci dari praktik bisnis kapitalis yang dilakukan untuk
menghemat biaya produksi. Kondisi-kondisi yang menguntungkan ini dapat
ditemukan oleh negara-negara dunia pertama di negara-negara dunia ketiga. Upaya
untuk memindahkan bisnis di negara-negara dunia ketiga ini seringkali
diistilahkan dengan ‘pollution haven’,[2] dimana
menguntungkan, bisnis akan dijalankan di tempat tersebut.
Keenam adalah
terciptanya aliansi antara dunia pertama dengan dunia ketiga sebagai bentuk
strategi akumulasi kapital. Dalam konteks ini, kepentingan bisnis dunia pertama
di dunia ketiga tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan untuk bekerjasama dengan
para aktor di dunia ketiga, khususnya ‘negara’. Aktor negara dibutuhkan untuk
bisa mengakomodasi kebutuhan ekstraksi sumberdaya yang dilakukan oleh TNCs.[3]
Praktik
bisnis yang dijalankan baik oleh TNCs maupun bisnis lokal berperan penting
dalam persoalan ekologi di dunia ketiga. Orientasi pencapaian keuntungan
menjadikan kedua praktik bisnis ini berkaitan erat dengan persoalan keadilan
sosial dan konservasi lingkungan. Perkembangan yang ada menunjukan bahwa baik
bisnis lokal maupun bisnis transnasional, keduanya terlibat dalam gerakan ‘green business’ (bisnis hijau) yang
diproyeksikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konsep ‘green business’ inilah dimunculkan
sebuah narasi harmonisasi antara
kepentingan untuk memperoleh keuntungan di satu sisi dengan konservasi
lingkungan di sisi yang lain.
Dalam
konteks praktik bisnis yang ramah lingkungan, baik TNCs maupun bisnis lokal
juga tidak sepenuhnya kebal atau imun terhadap tantangan atau kontrol dari
aktor-aktor yang lain. Perubahan praktik bisnis korporasi ini memang tidak
kemudian tiba-tiba menjadi environmental
based. Posisi NGO lingkungan (ENGO) dengan gerakan kampanye boikot
konsumennya menjadi salah satu perhatian bagi para pelaku bisnis. Sebagian
besar TNCs saat ini juga berupaya untuk mengembangkan strategi pengelolaan
lingkungan yang berkelanjutan dan menghijaukan bisnis mereka. Imaje menjadi
salah satu bagian dari strategi bisnis yang penting yang diupayakan oleh TNCs untuk
memperbaiki brand mereka. Salah satu terobosan yang diklaim sebagai
perkembangan industri yang ramah lingkungan adalah industri bioteknologi yang
disebut-sebut sebagai bentuk pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Benarkah kemudian green business akan menjadi wajah bisnis yang benar-benar ramah
terhadap lingkungan? Apakah kepentingan untuk memperoleh keuntungan benar-benar
dapat berdampingan dengan kepentingan untuk tetap menjaga lingkungan?
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
Bryant,
Raymond L dan Bailey, Sinead. 1997. Third World Political Ecology. New York:
Routledge.
[1]
Hal ini dicontohkan dengan negara seperti Nigeria, Filipina, Burma, Brazil,
Malaysia, India dan Zimbabwe yang menjadi penyedia sumberdaya alam bagi
negara-negara dunia pertama.
[2]
Pollution haven juga dapat dipahami
sebagai strategi yang biasa dilakukan oleh negara-negara dunia pertama untuk
menghindari berbagai regulasi atau aturan yang dianggap menghalangi
pengembangan bisnis mereka di negara asal, sehingga kemudian berupaya mencari
negara-negara lain (negara dunia ketiga) yang dianggap memiliki regulasi yang
lebih lemah.
[3]
Peran negara sebagai penyedia sumberdaya sangat vital. Dikatakan bahwa TNCs dan
negara memiliki kepentingan yang hampir sama. Praktik bisnis membuat kedua
aktor ini menjadi sangat dekat.
No comments:
Post a Comment