Friday, June 10, 2016

Bencana dan Peradaban



Merespon ‘Globalosentrisme’ untuk Menyelamatkan Peradaban Modern





Berbagai malapetaka dan bencana bukanlah sebuah hal baru yang dihadapi dalam peradaban manusia. Meskipun demikian, kondisi ini ternyata dari hari ke hari semakin memburuk. Banjir, pemanasan global, kerusakan hutan, dan berbagai kerusakan lingkungan yang lain, menjadi ancaman yang harus dihadapi manusia setiap saat. Sejak terjadi ledakan populasi seperti dicatat oleh Lynn White (2007) dan Hardin (1993), lingkungan pun menjadi berubah. Daya dukung lingkungan tidak mampu menampung berbagai konsekuensi akibat tekanan populasi yang terjadi. Pertanian menetap maupun perburuan yang tidak terkendali, telah mengubah kualitas lingkungan.[1] Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), saat ini sekitar 1 miliar orang tinggal dalam kota-kota yang kumuh, sekitar 40-50 kota yang pertumbuhannya paling pesat berada di zona gempa, 10 juta orang tinggal dalam ancaman banjir. Semua ini menyebabkan terjadinya peningkatan kemiskinan dan tumbuhnya pemukiman kumuh di perkotaan. Kondisi serupa ini apabila dibiarkan terus menerus, tentu saja akan membawa pada kehancuran peradaban modern.

Penyebab Kehancuran Peradaban Modern

Ancaman terhadap kehancuran peradaban modern, tidak bisa dijelaskan secara parsial, tetapi harus dilihat secara menyeluruh. Dalam konteks ancaman terhadap hancurnya peradaban modern, ‘manusia’ bisa dikatakan sebagai penyebab utamanya. Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), narasi kapitalisme dengan agresi manusianya selalu menjadi penyebab dari berbagai disrupsi yang terjadi di dalam masyarakat. Sejak awal, hubungan antara manusia dan alam sudah dibangun dalam relasi yang tidak seimbang (hubungan yang sudah sakit). Secara empirik hal ini bisa dilihat dari hancurnya ekosistem akibat perilaku korporasi dan agen-agen pemerintah yang dipengaruhi oleh kekuatan kapital.
Serupa dengan Kovel (2007), nilai-nilai tentang ‘manusia sebagai penguasa alam’ adalah sebuah doktrin yang melekat dan menjadi legitimasi atau keabsahan berbagai perlakuan manusia terhadap alam. Narasi antroposentris seperti yang dituliskan Lynn White (2007), menjelaskan bahwa berbagai kerusakan yang terjadi ini adalah akibat insting destruktif manusia yang terus mengeksploitasi alam dengan rakus. Krisis lingkungan berkaitan dengan keyakinan Kristen Yahudi. Tuhan memberikan manusia kekuasaan atas alam dan semua mahluk yang ada di dunia tidak ada yang memiliki derajat setinggi manusia. Ide Kristen Yahudi inilah yang dianggap bertanggungjawab pada rusaknya alam di Barat. Penguasaan dan penahlukkan manusia terhadap alam inilah yang menguatkan insting destruktif manusia. Dalam pemikiran Kristen, keahlian dan daya cipta dipandang sangat positif. Antusiasme moral Kristen terhadap teknologi diiringi dengan keyakinannya pada nilai-nilai spiritual dari kerja keras dan hasil karya manusia.

Dengan doktrinnya sebagai ‘penguasa alam’, manusia juga menyumbang pada terjadinya krisis ekologi dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkannya. Perkembangan teknologi telah menciptakan berbagai kekuatan mesin dan otomatisasi sebagai sebuah simbol dari superioritas manusia terhadap lingkungan. Relasi manusia dengan alam mengalami perubahan, manusia bukan lagi bagian dari alam (part of nature) tetapi pengeksploitasi alam (exploiter of nature). Manusia dan alam memang dua hal yang berbeda dan manusia adalah penguasanya.
Sementara itu Berkes (2003), menyebutkan bahwa pembangunan yang patologis menjadi bagian penyumbang terjadinya krisis. Beberapa pembangunan yang patologis diantaranya pilihan kebijakan yang tidak sejalan antara mempercepat pertumbuhan dengan menciptakan krisis; mengimplementasikan kelembagaan yang responsif terhadap persoalan ekologi, ekonomi dan sosial tetapi kemudian dalam praktiknya sangat dangkal, kaku dan myopic, terjebak dalam ketergantungan ekonomi; pembangunan yang menyebabkan menurunnya resiliensi ekosistem dan membuatnya menjadi rentan, rapuh dan semakin homogen. Kondisi-kondisi ini di negara-negara miskin semakin menyebabkan terjadinya ketidakpastian, pemiskinan dan jebakan kemiskinan.
Apa yang kemudian bisa dilakukan untuk menyelamatkan peradaban modern kita? Berbagai gagasan dan upaya menjadi pilihan dan dianggap terpercaya untuk bisa keluar dari krisis lingkungan yang terjadi. Dalam konteks ‘menyelamatkan peradaban’, solusi yang dilakukan adalah dengan mengupayakan jawaban atas penyebab yang menimbulkan atau menjadi pencetus dari masalah lingkungan yang ada. Solusi paling sederhana yang bisa diambil untuk menyelesaikan semua ancaman peradaban ini disebutkan Lynn White adalah dengan menghentikan semua perubahan yang terjadi dan kembali ke mentalitas 'wilderness area'. Bagaimana caranya? dengan berupaya membekukan ekologi agar tidak berubah sama sekali dan tetap pada situasi romantis dimana tidak terjadi berbagai aktivitas destruktif. Apakah ini mungkin dilakukan? Tentu saja sangat tidak mungkin. 





Pilihan Menyelamatkan Peradaban Masa Depan

Lynn White, Hardin, Berkes, Escobar dan Covel secara jelas menunjukan posisi ideologisnya terhadap ancaman hancurnya peradaban modern akibat krisis ekologi yang terjadi. Lingkungan dan manusia yang awalnya menjadi ‘part of nature’, adalah sebuah narasi romantik yang tidak mampu bertahan dalam perkembangan populasi yang menciptakan berbagai kebutuhan yang pada akhirnya berhadapan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
                Dalam konteks merespon krisis yang terjadi, ‘globalosentrisme’ adalah narasi besar yang menjadi biang keladi atas krisis yang terjadi. Meskipun demikian, saya secara pribadi berada pada posisi Berkes yang tidak kemudian melakukan strategi utopis dengan memerangi kapitalisme melainkan membangun mekanisme adaptasi yang memungkinkan sebuah masyarakat yang lebih resilien terhadap krisis yang terjadi. Fleksibilitas menjadi sangat penting karena krisis adalah bagian dari perubahan dimana narasi kapitalisme sendiri harus disikapi secara cerdas dengan membangun semacam buffer zone untuk tidak kemudian sepenuhnya terbawa dalam arus kapitalisme yang merusak melainkan tetap memiliki otonomi yang memungkinkan untuk tidak semata bertahan melainkan juga menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Dalam konteks beradaptasi inilah, bentuk-bentuk atau pilihan adaptasi perlu diperhatikan karena pilihan ini yang akan menentukan kemampuan masyarakat untuk bisa mendesain adaptasi yang sesuai dengan situasi masyarakatnya. Indonesia bisa menerapkan strategi ini, karena strategi ini lebih visible dan sangat mungkin dilakukan dibandingkan dengan gerakan-gerakan utopis yang seringkali sangat parsial dan bersifat jangka pendek.

 (Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Daftar Pustaka

Berkes, Fikret, et all. (ed). 2003. Navigating Social Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. New York: Cambridge University Press.
Escobar, Arturo. 1998. "Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social Movements". Journal of Political Ecology. Volume 5, pp. 53-82.
Hardin, Garrett. 1993. Living Within Limits: Ecology, Economics, and Population Taboos. Oxford: Oxford University Press.
Kovel, Joel. 2007. The Enemy of Nature: The End of Capitalism or the End of the World?. Canada: Fernwood Publishing.
Lynn White, Jr. 2007. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis.” http://www. zbi.ee/kalevi/lwhite.htm





[1] Bom pertama yang diledakkan pada awal abad-ke 14 merupakan salah satu contoh bahwa masuknya manusia ke hutan untuk mencari abu, belerang, besi dan arang yang dilakukan manusia telah menyebabkan erosi dan kerusakan hutan.

Friday, May 27, 2016

Giddens dan Bourdieu


 
Kubu Subjektifis Versus Objektifis:
 Memahami Strategi Transendensi Giddens dan Bourdieu




Nicos Mouzelis mengawali diskusinya dengan memunculkan konteks ‘war of paradigms’ atau perang paradigma yang terjadi dalam ilmu sosial akibat proliferasi paradigma-paradigma teoritis. Hal ini bisa dilihat dari kelompok intepretatif atau mikrososiologi yang menolak semua pandangan struktural fungsional sebagai sebuah reifikasi, sementara itu kelompok makro sosiolog menggarisbawahi karakter miopik atau remeh temeh dari kelompok mikrososiologi. Perbedaan juga dijumpai pada kelompok strukturalis yang melihat bahwa sosiologi konvensional (makro dan mikro sosiologi) tidak mampu mengungkap tatanan yang ada dibalik keteraturan yang terlembagakan dan hanya mampu melihat hal yang sangat permukaan atau dangkal (surface). Terakhir adalah pandangan kelompok postrukturalis, yang kembali pada pendekatan-pendekatan eksklusif mengenai praktik-praktik diskursif dan kontribusi mereka terhadap formasi subyektifitas/identitas. Dalam konteks perang paradigma inilah, Nicos Mouzelis memunculkan pandangan Giddens dan Bourdieu yang berupaya untuk melampaui kedua kubu subjektifisdan objektifis. Baik Giddens maupun Bourdieu berupaya untuk melampaui kegagalan pemisahan antara subyektifis dan obyektifis.

Dualitas struktur: Strategi Transendensi Giddens

Bagi Giddens, cara untuk mengatasi jurang antara subyektifis dan obyektifis adalah menteoritisasikan relasi subjek-objek dalam terminologi dualitas dan bukan dualisme. Mengacu pada Giddens, tipe pemisahan atau jarak antara subjek dengan objek menghasilkan kekhususan antara perspektif objektifis dan subjektifis - sebuah karakter yang menciptakan kesepakatan tanpa menghilangkan kontroversi dalam disiplin tersebut.
Giddens mengikuti perbedaan antara langue-parole dalam lingustik untuk mengkonseptualisasikan antara tatanan dunia virtual dengan sumberdaya (level paradigmatik), yang diaktualisasikan dalam level sintagmatik, dimana subjek digambarkan bertindak dalam konteks sosial yang konkret. Dari sudut pandang ini, struktur-struktur (aturan dan sumberdaya) tidak hanya menghambat tetapi juga memungkinkan. Mereka baik dalam cara (means) atau hasil (outcomes), means adalah cara subjek menggunakan aturan dan sumberdaya untuk bertindak dan berinteraksi, outcome adalah bahwa mereka juga mereproduksi struktur. Jika ini diterima, objek (struktur) bukan sesuatu yang terpisah dari subjek.
Menurut Giddens, kita tidak perlu bicara tentang dualisme subjek dan obyek, tetapi dualitas subjek dan objek. Konsep Giddens ini hanya memuaskan untuk menjelaskan penggunaan aturan dan sumberdaya oleh subjek dalam perilaku yang alamiah, tetapi tidak memuaskan untuk menjelaskan situasi dimana subjek mengambil jarak dari aturan dan sumberdaya untuk alasan investigasi atau monitoring. Konsep Giddens ini dikritik karena tidak memadai untuk menjelaskan kasus ketika aturan dan sumberdaya tidak bekerja sebagai cara bertindak tetapi sebagai tujuan strategis, sebagai obyek bahwa subjek mendekati secara teoritis, dan kritis.
Terdapat derajat jarak atau derajat strategi paradigmatik yang terkadang tidak terlalu menjadi pertimbangan tetapi di lain waktu bisa menjadi dominan. Mode dimana subjek berelasi dengan aturan dan sumberdaya selalu mengikutsertakan campuran antara praktikal, teoritikal dan orientasi strategi monitoring. Dominasi ini dapat berubah tergantung pada konteksnya. Paham refleksifitas yang digunakan Giddens tidak bisa menjustifikasi eliminasi pemahaman dualisme subjek-objek. Oleh karenanya diperlukan konsep yang memungkinkan kita untuk menyadari bahwa strategi distancing atau paradigmatik terkadang lemah atau tidak penting dan terkadang kuat atau sangat dominan. Kita memerlukan konsep yang menekankan bahwa relasi paradigmatik antara subyek dengan obyek dipahami, situasinya tidak konstan tetapi bervariasi. Oleh karenanya konsep refleksifitas tidak bisa dieliminasi tetapi sebaliknya, memerlukan penggunaaan dualitas subjek-objek seperti halnya dualisme dalam level paradigmatik.
Selanjutnya juga apa yang disebut Giddens dengan sistem sosial dan karakteristik strukturalnya hampir berdekatan dengan apa yang disebut Nicos sebagai struktur relasional dan distribusional dalam level sintagmatik. Faktanya ketika Giddens bergerak dari level paradigmatik (sistem virtual dari aturan dan sumberdaya) ke level sintagmatik (sistem sosial yang dibangun dari pola-pola relasi yang menggambarkan properti struktural) dalam level ini dualisme antara subjek dan objek diperkenalkan kembali. Teori strukturasi tidak memungkinkan variabilitas subjek-objek. Berbicara mengenai 'obyektif' eksistensi properti strukyural dimana individu tidak mungkin berubah menjelaskan bahwa diantara subjek dan objek sosial terdapat apa yang disebut Giddens sebagai objektifis atau sosiologi struktural. Perbedaan antara Nicos dengan Giddens adalah bahwa Giddens memberikan pembedaan yang jelas antara subjek dan objek dalam level sintagmatik tetapi tidak dalam level paradigmatik. Nicos sebaliknya berarguman bahwa perbedaan antara subjek-objek harus dilihat dari kedua lebel. Dalam level paradigmatik juga harus dilihat, sehingga ada perbedaan yang jelas antata subjek dan struktur sosial yang virtual (relasi atau distribusi alamiah).






Habitus : Strategi transendensi Bourdieu

Jika Giddens menyebutkan bahwa konsep dualitas struktur bisa mengkerangkai pemisahan antara subjektifis dan objektifis karena dualitas struktur menyinggung baik subjektif (struktur adalah tindakan dari subjek) dan objektif (struktur adalah hasil objektif, maka Bourdieu berupaya untuk menggunakan konsep habitusnya, yang mengacu pada disposisi subjek pada skema persepsi, kognisi dan evaluasi bahwa aktor memperolehnya dari sosialisasi yang berbeda-beda. Skema generatif atau disposisi ini disebut dengan internalisasi struktur sosial atau kelekatan sejarah.
Bagi Bourdieu, habitus memainkan peran 'transendensi'. Internalisasi dalam struktur sosial yang obyektif memerlukan objektifiti, sementara relasi subjek dalam konteks sosial yang spesifik memerlukan 'practical manner' ini yang kemudian disebut subjektifitas. Habitus memiliki karakter otomatis semu dan ketidaksadaran semu, dimana konteks objektif didalamnya adalah bahwa subjek tidak memiliki pengetahuan praktis mengenai hal tersebut. Bagi Bourdieu habitus bisa menjawab pemisahan subjektif dan objektif melalui ketidaksadaran struktural (objektif) dan elemen konstruksionis pendekatan subjektifis.
Kalau Giddens menggunakan strategi paradigmatik, Bourdieu menggunakan strategi sintagmatik. Bourdieu melihat praktik sosial sebagai hasil dari dimensi disposisional dalam sebuah permainan sosial. Konsepnya mengenai 'field’ (sebagai sebuah bangunan posisi-posisi sosial yang memerlukan power/kapital) mengacu pada struktur objektif. Habitus mengindikasikan bahwa struktur sosial diinternalisasikan serta internalisasi sosial struktur menjadi asal muasal dari praktik-praktik subjek. Dalam skema Bourdie praktik berasal dari: field (dimensi posisi) - habitus (dimensi disposisional)-praktik-praktik sosial. Yang hilang dalam skema ini adalah dimensi situasional interaktif. Praktik-praktik sosial tidak bisa sepenuhnya dijelaskan dalam terminologi posisi dan disposisi. Penjelasan mengenai kerelaan, dimensi interaktif situasional juga harus diperhitungkan.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Referensi
Mouzelis, Nicos P. 2008. Modern and Postmodern Social Theorizing: Bridging the Divide. New York: Cambridge University Press.

Tuesday, May 24, 2016

Ekofeminisme



Wangari Maathai dan Green Belt Movement: Merefleksikan Ekofeminisme  
dalam Konteks Gerakan Lingkungan di Kenya-Afrika




Wangari Maathai adalah aktivis lingkungan dan wanita Afrika pertama yang menerima Nobel perdamaian pada tahun 2004. Wangari Maathai selama 35 tahun telah memperjuangkan hak-hak asasi manusia dengan mengkampanyekan demokrasi dan perlindungan terhadap lingkungan hidup di Kenya dengan tidak hanya memerangi deforestasi dan kemiskinan, tetapi berbagai pengabaian dan penindasan politik serta ekonomi. Ia melihat bagaimana sekembalinya dari studi, ia menemukan wanita di desanya begitu kesulitan untuk memperoleh kayu bakar dan air.[1] Anak-anak mengalami banyak penyakit akibat kekurangan gizi. Dari sinilah ide untuk menanam pohon itu kemudian dimulai.
Deforestasi merupakan sebuah gambaran patologi kronis yang berakar pada kolonialisme. Kolonialialisme Inggris hadir ibarat teorisme yang melemahkan infrastruktur budaya lokal dan menempatkan masyarakat asli pada posisi yang inferior. Kehadiran kolonialisme dengan budaya mengkomersilkan alam yang menyebabkan kerusakan ekologis, dilanjutkan oleh pimpinan-pimpinan di Kenya pasca kemerdekaan dengan melanjutkan kebijakan lingkungan yang merusak seperti penyediaan kayu, teh, kopi, dan tanaman pangan lain untuk perdagangan internasional.
Green Belt Movement merupakan organisasi akar rumput, NGO yang berbasis di Kenya yang memfokuskan gerakannya pada konservasi lingkungan, komunitas dan capacity building. GBM dibentuk untuk merespon kebutuhan para wanita di Kenya yang kesulitan untuk memperoleh kayu bakar, air bersih untuk diminum, sumber makanan, tempat tinggal dan pendapatan. Tujuan GBM adalah membangun sabuk hijau dan plot kayu bakar oleh masyarakat lokal terutama perempuan dalam semangat berdikari dan pemberdayaan untuk memerangi erosi tanah. Maathai melakukan advokasi pada hak-hak perempuan yang seringkali sangat mudah diceraikan oleh suaminya karena dianggap 'too educated', 'too strong', 'too succesfull', 'too stubborn', too hard to control'



Ada satu keyakinan dalam masyarakat Kenya bahwa seorang perempuan Afrika yang baik seharusnya bergantung, tunduk dan tidak lebih baik dari suaminya (to be dependent, submissive, and not better than her husband). Dalam konteks inilah, perempuan Kenya digambarkan memiliki posisi yang sangat subordinat dibandingkan pria seperti dapat dicermati berikut ini:

“It was un-African and unimaginable for a woman to challenge or oppose men. Male authority was divinely determined and should therefore not be challenged. In almost every kenyan Culture, the female is seen as inferior and always ranked among children. Since women and children are considered lesser beings, they are required to serve the men. Men on the other hand are seen as authoritative decision makers in the private and public spheres whose authority is not to be questioned. Divorce is culturally stigmased and divorced woman in Kenyan society is considered a disgrace, someone who lacks social respectability in contrast to a 'decent' woman who is expected to uphold her marriage at all cost.” (Muthuki, 2006:30).


Maathai menyuarakan keberanian perempuan untuk bisa mencegah kerusakan hutan, mengakhiri pengelolaan yang buruk dan pelanggaran hak asasi manusia seperti perang suku dan korupsi. Strategi pertama yang dilakukan adalah dengan memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam berbagai level pengambilan keputusan di pemerintahan. Representasi perempuan yang lebih besar dalam pemerintahan diharapkan dalam membawa perubahan pada dominasi pria dalam parlemen. Strategi kedua yang dilakukan oleh Maathai adalah dengan mengintegrasikan perspektif gender pada kebijakan dan program-program pembangunan berkelanjutan. Pada banyak kasus, perspektif gender seringkali tidak mendapat prioritas perhatian nasional sehingga mengakibatkan perempuan termarjinalisasikan. Strategi yang ketiga adalah penguatan mekanisme nasional, regional dan internasional untuk menganalisis dampak pembangunan dan kebijakan lingkungan bagi perempuan. Persoalan pembangunan dan kesetaraan gender di Afrika dapat dilihat dari struktur pratriarki tradisional di Afrika yang menganggap bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan perempuan hanya diharapkan untuk tunduk. Laki-laki dilihat sebagai pengambil keputusan yang otoritatif baik di ruang domestik maupun publik yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Kondisi ini masih diperburuk dengan warisan kolonial dimana sistem politik yang dipimpin laki-laki terus dilanjutkan. Hal ini merepresentasikan sistem yang memprioritaskan  dan menjunjung tinggi privelese laki-laki.




Sistem ekonomi kapitalis yang diperkenalkan oleh tatanan kolonial telah berdampak pada marjinalisasi perempuan dan menciptakan ketergantungan yang sangat tinggi. Hal ini berlanjut dengan kebijakan ekonomi pemerintah Kenya yang pro-invetasi asing, dan prinsip-prinsip kepemilikan asing serta prinsip-prinsip kapitalis dalam produksi dan ekspoitasi sumberdaya alam. Kebijakan ini telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan dan kemiskinan. Ekstraksi sumberdaya tidak memberikan manfaat bagi masyarakat asli, tetapi kemakmuran bagi pemerintah, perusahaan asing dan kaum elit di Selatan, yang pada akhirnya menciptakan disparitas yang sangat tinggi dalam sumberdaya dan distribusi pendapatan, dengan perempuan yang mengalami dampak terburuknya.
Maathai mengkampanyekan keragaman kultural dalam pengetahuan lokal. Mereka menolak hegemoni dan dominasi paradigma pembangunan barat yang terbukti telah merampas sumberdaya alam yang ada. Maathai menunjukan bahwa kepemimpinan yang dikombinasikan dengan pengetahuan dan pengalaman dapat menciptakan kekuatan yang sangat besar bagi sebuah perubahan. Maathai menunjukan bahwa 'too educated, too strong, too sucessfull, too stubborn and too hard control' harus diletakan dalam konteks kearifan dan pendekatan-pendekatan tradisional. Kerja-kerja yang dilakukan Maathai melalui GBM-nya, mengedepankan sebuah politik sosialis radikal untuk menantang struktur sosial yang menjadi penyebab kerusakan bumi dan sumberdaya alamnya. GBM juga menunjukan konseptualisasi pembangunan ekologi Afrika yang memposisikan perempuan, kelas dan perlindungan lingkungan sebagai elemen-elemen yang terintegrasi dalam perjuangan untuk pembangunan yang berkelanjutan dalam sebuah proses demokrasi.
Green Belt Movement menjadi contoh sebuah praxis ekofeminis materialis untuk menggerakkan kesadaran menuju demokrasi dan keadilan lingkungan. Ekofeminisme secara khusus merupakan sebuah kritik terhadap hegemoni dimana pengabaian terhadap perspektif ekofeminisme bisa diartikan sebagai bagian dari hegemoni itu sendiri. Ekofeminisme memberikan satu gambaran tentang konsep kekuasaan dan retorika kritik terhadap keadilan lingkungan. Feminisme merupakan instrumen untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang dialami oleh perempuan di Afrika. Kaum feminis Afrika mengupayakan kesetaraan dengan memperjuangkan keterlibatan mereka di wilayah publik dan mendukung otonomi mereka dalam pengambilan keputusan. Perpektif ekofeminis Afrika berupaya merekonstruksi homogenisasi pemikiran Barat dengan memunculkan kekhususan sejarah yang menciptakan tekanan ekologis dan berbagai persoalan sosial yang menyebabkan beban berat yang harus ditanggung oleh perempuan.

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Referensi

Hunt, Kathleen P. 2014. "Its More Than Planting Trees, Its Planting Ideas': Ecofeminist Praxis in the Green Belt Movement." Southern Communication Journal, Volume 79, No. 3, July-August 2014, pp. 235-249.
Muthuki, Janet . 2006. "Rethinking Ecofeminism: Wangari Maathai and The Green Belt Movement in Kenya." Research Article. Master of Social Science (Gender Studies). Faculty of Humanities, Development and Social Sciences. University of Kwazulu-Natal (Howard College Campus).
___________. 2006. "Challenging Partriarchal Structures: Wangari Maathai and the Green Belt Movement in Kenya". Agenda Empowering Women for Gender Equity, No. 69, Nairobi, pp. 82-91. http://www.jstor.org/stable/4066816





[1] Dapat dilihat dalam Film 'Taking Root: The Vision of Wangari Maathai'. Review film ini ditulis oleh Gary Hytrek dalam Teaching Sociology, Volume 40, No 1. January 2012, pp. 87-88. http://www.jstor.org/ stable/415033332.

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...