Merespon ‘Globalosentrisme’ untuk Menyelamatkan Peradaban Modern
Berbagai malapetaka dan bencana bukanlah
sebuah hal baru yang dihadapi dalam peradaban manusia. Meskipun demikian,
kondisi ini ternyata dari hari ke hari semakin memburuk. Banjir, pemanasan
global, kerusakan hutan, dan berbagai kerusakan lingkungan yang lain, menjadi
ancaman yang harus dihadapi manusia setiap saat. Sejak terjadi ledakan populasi
seperti dicatat oleh Lynn White (2007) dan Hardin (1993), lingkungan pun
menjadi berubah. Daya dukung lingkungan tidak mampu menampung berbagai
konsekuensi akibat tekanan populasi yang terjadi. Pertanian menetap maupun
perburuan yang tidak terkendali, telah mengubah kualitas lingkungan.[1]
Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), saat ini sekitar 1 miliar orang tinggal
dalam kota-kota yang kumuh, sekitar 40-50 kota yang pertumbuhannya paling pesat
berada di zona gempa, 10 juta orang tinggal dalam ancaman banjir. Semua ini
menyebabkan terjadinya peningkatan kemiskinan dan tumbuhnya pemukiman kumuh di
perkotaan. Kondisi serupa ini apabila dibiarkan terus menerus, tentu saja akan
membawa pada kehancuran peradaban modern.
Penyebab
Kehancuran Peradaban Modern
Ancaman terhadap kehancuran peradaban modern,
tidak bisa dijelaskan secara parsial, tetapi harus dilihat secara menyeluruh.
Dalam konteks ancaman terhadap hancurnya peradaban modern, ‘manusia’ bisa
dikatakan sebagai penyebab utamanya. Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), narasi
kapitalisme dengan agresi manusianya selalu menjadi penyebab dari berbagai
disrupsi yang terjadi di dalam masyarakat. Sejak awal, hubungan antara manusia
dan alam sudah dibangun dalam relasi yang tidak seimbang (hubungan yang sudah
sakit). Secara empirik hal ini bisa dilihat dari hancurnya ekosistem akibat
perilaku korporasi dan agen-agen pemerintah yang dipengaruhi oleh kekuatan
kapital.
Serupa dengan Kovel (2007),
nilai-nilai tentang ‘manusia sebagai penguasa alam’ adalah sebuah doktrin yang
melekat dan menjadi legitimasi atau keabsahan berbagai perlakuan manusia
terhadap alam. Narasi antroposentris seperti yang dituliskan Lynn White (2007),
menjelaskan bahwa berbagai kerusakan yang terjadi ini adalah akibat insting
destruktif manusia yang terus mengeksploitasi alam dengan rakus. Krisis
lingkungan berkaitan dengan keyakinan Kristen Yahudi. Tuhan memberikan manusia
kekuasaan atas alam dan semua mahluk yang ada di dunia tidak ada yang memiliki
derajat setinggi manusia. Ide Kristen Yahudi inilah yang dianggap
bertanggungjawab pada rusaknya alam di Barat. Penguasaan dan penahlukkan
manusia terhadap alam inilah yang menguatkan insting destruktif manusia. Dalam
pemikiran Kristen, keahlian dan daya cipta dipandang sangat positif. Antusiasme
moral Kristen terhadap teknologi diiringi dengan keyakinannya pada nilai-nilai
spiritual dari kerja keras dan hasil karya manusia.
Dengan doktrinnya sebagai ‘penguasa alam’,
manusia juga menyumbang pada terjadinya krisis ekologi dari ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dikembangkannya. Perkembangan teknologi telah menciptakan
berbagai kekuatan mesin dan otomatisasi sebagai sebuah simbol dari superioritas
manusia terhadap lingkungan. Relasi manusia dengan alam mengalami perubahan,
manusia bukan lagi bagian dari alam (part
of nature) tetapi pengeksploitasi alam (exploiter
of nature). Manusia dan alam memang dua hal yang berbeda dan manusia adalah
penguasanya.
Sementara itu Berkes (2003),
menyebutkan bahwa pembangunan yang patologis menjadi bagian penyumbang
terjadinya krisis. Beberapa pembangunan yang patologis diantaranya pilihan
kebijakan yang tidak sejalan antara mempercepat pertumbuhan dengan menciptakan
krisis; mengimplementasikan kelembagaan yang responsif terhadap persoalan
ekologi, ekonomi dan sosial tetapi kemudian dalam praktiknya sangat dangkal,
kaku dan myopic, terjebak dalam ketergantungan ekonomi; pembangunan yang
menyebabkan menurunnya resiliensi ekosistem dan membuatnya menjadi rentan,
rapuh dan semakin homogen. Kondisi-kondisi ini di negara-negara miskin semakin
menyebabkan terjadinya ketidakpastian, pemiskinan dan jebakan kemiskinan.
Apa yang kemudian bisa dilakukan untuk
menyelamatkan peradaban modern kita? Berbagai gagasan dan upaya menjadi pilihan
dan dianggap terpercaya untuk bisa keluar dari krisis lingkungan yang terjadi.
Dalam konteks ‘menyelamatkan peradaban’, solusi yang dilakukan adalah dengan
mengupayakan jawaban atas penyebab yang menimbulkan atau menjadi pencetus dari
masalah lingkungan yang ada. Solusi paling sederhana yang bisa diambil untuk menyelesaikan
semua ancaman peradaban ini disebutkan Lynn White adalah dengan menghentikan
semua perubahan yang terjadi dan kembali ke mentalitas 'wilderness area'. Bagaimana caranya? dengan berupaya membekukan
ekologi agar tidak berubah sama sekali dan tetap pada situasi romantis dimana
tidak terjadi berbagai aktivitas destruktif. Apakah ini mungkin dilakukan?
Tentu saja sangat tidak mungkin.
Pilihan Menyelamatkan Peradaban Masa
Depan
Lynn White, Hardin, Berkes, Escobar dan Covel
secara jelas menunjukan posisi ideologisnya terhadap ancaman hancurnya
peradaban modern akibat krisis ekologi yang terjadi. Lingkungan dan manusia
yang awalnya menjadi ‘part of nature’,
adalah sebuah narasi romantik yang tidak mampu bertahan dalam perkembangan
populasi yang menciptakan berbagai kebutuhan yang pada akhirnya berhadapan
dengan keterbatasan daya dukung lingkungan (carrying
capacity).
Dalam
konteks merespon krisis yang terjadi, ‘globalosentrisme’ adalah narasi besar
yang menjadi biang keladi atas krisis yang terjadi. Meskipun demikian, saya secara
pribadi berada pada posisi Berkes yang tidak kemudian melakukan strategi utopis
dengan memerangi kapitalisme melainkan membangun mekanisme adaptasi yang
memungkinkan sebuah masyarakat yang lebih resilien terhadap krisis yang
terjadi. Fleksibilitas menjadi sangat penting karena krisis adalah bagian dari
perubahan dimana narasi kapitalisme sendiri harus disikapi secara cerdas dengan
membangun semacam buffer zone untuk
tidak kemudian sepenuhnya terbawa dalam arus kapitalisme yang merusak melainkan
tetap memiliki otonomi yang memungkinkan untuk tidak semata bertahan melainkan
juga menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Dalam konteks beradaptasi inilah,
bentuk-bentuk atau pilihan adaptasi perlu diperhatikan karena pilihan ini yang
akan menentukan kemampuan masyarakat untuk bisa mendesain adaptasi yang sesuai
dengan situasi masyarakatnya. Indonesia bisa menerapkan strategi ini, karena
strategi ini lebih visible dan sangat
mungkin dilakukan dibandingkan dengan gerakan-gerakan utopis yang seringkali
sangat parsial dan bersifat jangka pendek.
(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)
Daftar
Pustaka
Berkes, Fikret, et all. (ed). 2003. Navigating Social Ecological Systems:
Building Resilience for Complexity and Change. New York: Cambridge
University Press.
Escobar, Arturo. 1998. "Whose Knowledge,
Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social
Movements". Journal of Political
Ecology. Volume 5, pp. 53-82.
Hardin, Garrett. 1993. Living Within Limits: Ecology, Economics, and Population Taboos.
Oxford: Oxford University Press.
Kovel, Joel. 2007. The Enemy of Nature: The End of Capitalism or the End of the World?.
Canada: Fernwood Publishing.
Lynn White, Jr. 2007. “The Historical Roots of
Our Ecological Crisis.” http://www.
zbi.ee/kalevi/lwhite.htm
[1] Bom pertama yang diledakkan pada awal abad-ke 14
merupakan salah satu contoh bahwa masuknya manusia ke hutan untuk mencari abu,
belerang, besi dan arang yang dilakukan manusia telah menyebabkan erosi dan
kerusakan hutan.
No comments:
Post a Comment