Friday, June 10, 2016

Bencana dan Peradaban



Merespon ‘Globalosentrisme’ untuk Menyelamatkan Peradaban Modern





Berbagai malapetaka dan bencana bukanlah sebuah hal baru yang dihadapi dalam peradaban manusia. Meskipun demikian, kondisi ini ternyata dari hari ke hari semakin memburuk. Banjir, pemanasan global, kerusakan hutan, dan berbagai kerusakan lingkungan yang lain, menjadi ancaman yang harus dihadapi manusia setiap saat. Sejak terjadi ledakan populasi seperti dicatat oleh Lynn White (2007) dan Hardin (1993), lingkungan pun menjadi berubah. Daya dukung lingkungan tidak mampu menampung berbagai konsekuensi akibat tekanan populasi yang terjadi. Pertanian menetap maupun perburuan yang tidak terkendali, telah mengubah kualitas lingkungan.[1] Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), saat ini sekitar 1 miliar orang tinggal dalam kota-kota yang kumuh, sekitar 40-50 kota yang pertumbuhannya paling pesat berada di zona gempa, 10 juta orang tinggal dalam ancaman banjir. Semua ini menyebabkan terjadinya peningkatan kemiskinan dan tumbuhnya pemukiman kumuh di perkotaan. Kondisi serupa ini apabila dibiarkan terus menerus, tentu saja akan membawa pada kehancuran peradaban modern.

Penyebab Kehancuran Peradaban Modern

Ancaman terhadap kehancuran peradaban modern, tidak bisa dijelaskan secara parsial, tetapi harus dilihat secara menyeluruh. Dalam konteks ancaman terhadap hancurnya peradaban modern, ‘manusia’ bisa dikatakan sebagai penyebab utamanya. Sebagaimana disebutkan Kovel (2007), narasi kapitalisme dengan agresi manusianya selalu menjadi penyebab dari berbagai disrupsi yang terjadi di dalam masyarakat. Sejak awal, hubungan antara manusia dan alam sudah dibangun dalam relasi yang tidak seimbang (hubungan yang sudah sakit). Secara empirik hal ini bisa dilihat dari hancurnya ekosistem akibat perilaku korporasi dan agen-agen pemerintah yang dipengaruhi oleh kekuatan kapital.
Serupa dengan Kovel (2007), nilai-nilai tentang ‘manusia sebagai penguasa alam’ adalah sebuah doktrin yang melekat dan menjadi legitimasi atau keabsahan berbagai perlakuan manusia terhadap alam. Narasi antroposentris seperti yang dituliskan Lynn White (2007), menjelaskan bahwa berbagai kerusakan yang terjadi ini adalah akibat insting destruktif manusia yang terus mengeksploitasi alam dengan rakus. Krisis lingkungan berkaitan dengan keyakinan Kristen Yahudi. Tuhan memberikan manusia kekuasaan atas alam dan semua mahluk yang ada di dunia tidak ada yang memiliki derajat setinggi manusia. Ide Kristen Yahudi inilah yang dianggap bertanggungjawab pada rusaknya alam di Barat. Penguasaan dan penahlukkan manusia terhadap alam inilah yang menguatkan insting destruktif manusia. Dalam pemikiran Kristen, keahlian dan daya cipta dipandang sangat positif. Antusiasme moral Kristen terhadap teknologi diiringi dengan keyakinannya pada nilai-nilai spiritual dari kerja keras dan hasil karya manusia.

Dengan doktrinnya sebagai ‘penguasa alam’, manusia juga menyumbang pada terjadinya krisis ekologi dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkannya. Perkembangan teknologi telah menciptakan berbagai kekuatan mesin dan otomatisasi sebagai sebuah simbol dari superioritas manusia terhadap lingkungan. Relasi manusia dengan alam mengalami perubahan, manusia bukan lagi bagian dari alam (part of nature) tetapi pengeksploitasi alam (exploiter of nature). Manusia dan alam memang dua hal yang berbeda dan manusia adalah penguasanya.
Sementara itu Berkes (2003), menyebutkan bahwa pembangunan yang patologis menjadi bagian penyumbang terjadinya krisis. Beberapa pembangunan yang patologis diantaranya pilihan kebijakan yang tidak sejalan antara mempercepat pertumbuhan dengan menciptakan krisis; mengimplementasikan kelembagaan yang responsif terhadap persoalan ekologi, ekonomi dan sosial tetapi kemudian dalam praktiknya sangat dangkal, kaku dan myopic, terjebak dalam ketergantungan ekonomi; pembangunan yang menyebabkan menurunnya resiliensi ekosistem dan membuatnya menjadi rentan, rapuh dan semakin homogen. Kondisi-kondisi ini di negara-negara miskin semakin menyebabkan terjadinya ketidakpastian, pemiskinan dan jebakan kemiskinan.
Apa yang kemudian bisa dilakukan untuk menyelamatkan peradaban modern kita? Berbagai gagasan dan upaya menjadi pilihan dan dianggap terpercaya untuk bisa keluar dari krisis lingkungan yang terjadi. Dalam konteks ‘menyelamatkan peradaban’, solusi yang dilakukan adalah dengan mengupayakan jawaban atas penyebab yang menimbulkan atau menjadi pencetus dari masalah lingkungan yang ada. Solusi paling sederhana yang bisa diambil untuk menyelesaikan semua ancaman peradaban ini disebutkan Lynn White adalah dengan menghentikan semua perubahan yang terjadi dan kembali ke mentalitas 'wilderness area'. Bagaimana caranya? dengan berupaya membekukan ekologi agar tidak berubah sama sekali dan tetap pada situasi romantis dimana tidak terjadi berbagai aktivitas destruktif. Apakah ini mungkin dilakukan? Tentu saja sangat tidak mungkin. 





Pilihan Menyelamatkan Peradaban Masa Depan

Lynn White, Hardin, Berkes, Escobar dan Covel secara jelas menunjukan posisi ideologisnya terhadap ancaman hancurnya peradaban modern akibat krisis ekologi yang terjadi. Lingkungan dan manusia yang awalnya menjadi ‘part of nature’, adalah sebuah narasi romantik yang tidak mampu bertahan dalam perkembangan populasi yang menciptakan berbagai kebutuhan yang pada akhirnya berhadapan dengan keterbatasan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
                Dalam konteks merespon krisis yang terjadi, ‘globalosentrisme’ adalah narasi besar yang menjadi biang keladi atas krisis yang terjadi. Meskipun demikian, saya secara pribadi berada pada posisi Berkes yang tidak kemudian melakukan strategi utopis dengan memerangi kapitalisme melainkan membangun mekanisme adaptasi yang memungkinkan sebuah masyarakat yang lebih resilien terhadap krisis yang terjadi. Fleksibilitas menjadi sangat penting karena krisis adalah bagian dari perubahan dimana narasi kapitalisme sendiri harus disikapi secara cerdas dengan membangun semacam buffer zone untuk tidak kemudian sepenuhnya terbawa dalam arus kapitalisme yang merusak melainkan tetap memiliki otonomi yang memungkinkan untuk tidak semata bertahan melainkan juga menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.
Dalam konteks beradaptasi inilah, bentuk-bentuk atau pilihan adaptasi perlu diperhatikan karena pilihan ini yang akan menentukan kemampuan masyarakat untuk bisa mendesain adaptasi yang sesuai dengan situasi masyarakatnya. Indonesia bisa menerapkan strategi ini, karena strategi ini lebih visible dan sangat mungkin dilakukan dibandingkan dengan gerakan-gerakan utopis yang seringkali sangat parsial dan bersifat jangka pendek.

 (Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)

Daftar Pustaka

Berkes, Fikret, et all. (ed). 2003. Navigating Social Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. New York: Cambridge University Press.
Escobar, Arturo. 1998. "Whose Knowledge, Whose Nature? Biodiversity, Conservation, and the Political Ecology of Social Movements". Journal of Political Ecology. Volume 5, pp. 53-82.
Hardin, Garrett. 1993. Living Within Limits: Ecology, Economics, and Population Taboos. Oxford: Oxford University Press.
Kovel, Joel. 2007. The Enemy of Nature: The End of Capitalism or the End of the World?. Canada: Fernwood Publishing.
Lynn White, Jr. 2007. “The Historical Roots of Our Ecological Crisis.” http://www. zbi.ee/kalevi/lwhite.htm





[1] Bom pertama yang diledakkan pada awal abad-ke 14 merupakan salah satu contoh bahwa masuknya manusia ke hutan untuk mencari abu, belerang, besi dan arang yang dilakukan manusia telah menyebabkan erosi dan kerusakan hutan.

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...