Friday, April 1, 2016

Praktik Bisnis dan Kerusakan Lingkungan



Transnational Corporation, Praktik Bisnis,  dan
Permasalahan Lingkungan di Dunia Ketiga  

 
Bisnis dalam konteks aktor maupun praktiknya berkaitan erat dengan permasalahan lingkungan yang terjadi di negara-negara dunia ketiga. TNCs sebagai wujud dari aktor bisnis internasional dan ‘bisnis lokal’ yang merepresentasikan aktor di negara dunia ketiga memiliki karakteristiknya yang khas dalam relasinya dengan praktik bisnis dan politisasi lingkungan yang dilakukan. Praktik bisnis merupakan bagian dari logika akumulasi kapital yang juga berarti ekstraksi sumberdaya alam untuk memperoleh surplus atau manfaat. Bisnis dan krisis lingkungan akan segera dipahami sebagai relasi sebab dan akibat. Krisis lingkungan merupakan akibat dari praktek-praktek bisnis yang abai terhadap lingkungan.
Secara umum dipahami bahwa ‘bisnis’ lekat dengan praktik-praktik ekonomi yang berorientasi pada profit, sehingga sangat wajar untuk tidak memprioritaskan kepentingan lain di luar orientasi utama tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Bryant dan Bailey (1997), peran bisnis dalam krisis lingkungan yang terjadi di dunia ketiga, sangatlah penting. Semakin pesatnya bisnis baik yang diinisiasi oleh perusahaan transnasional (TNCs) maupun bisnis-bisnis lokal, telah berdampak pada ketimpangan sosial dan degradasi lingkungan di dunia ketiga. Praktik bisnis adalah praktik eksploitasi sumber daya yang muncul dalam berbagai aktivitas ekonomi seperti: pertambangan, perkebunan, ataupun peternakan dan sebagainya. 




                Bisnis merupakan wujud nyata dari sistem kapitalisme global. Kapitaslime global yang meluas di negara-negara dunia ketiga, telah megubah kondisi sosial, ekonomi, politik serta ekologi di negara-negara dunia ketiga, termasuk diantaranya adalah terjadinya krisis lingkungan. Dalam konteks krisis lingkungan dan sistem kapitalisme global, ada beberapa relasi penting antara negara dunia ketiga dan negara pertama yang perlu dicermati. Pertama adalah posisi negara dunia ketiga sebagai ‘penyedia sumberdaya’ (storehouse) bagi negara dunia pertama.[1] Kedua adalah logika akumulasi dimana pemilik modal (kapitalis) berperan dalam mengontrol produksi dan mengatur bagaimana sumberdaya diperoleh, digunakan serta didistribusikan dari produsen ke non-produsen. Ketiga adalah kontradiksi antara logika akumulasi kapital dengan lingkungan. Logika akumulasi yang berkembang dalam sistem kapitalisme bisa menjadi ancaman bagi kelestarian lingkungan. Praktik-praktik akumulasi jamak dilakukan dengan pengambilan surplus atau manfaat yang seringkali bersifat destruktif dan mengabaikan masyarakat serta ekosistem yang ada.
Keempat adalah dominasi kapitalisme pada praktik pengelolaan lingkungan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat. Kapitalisme telah mengintegrasikan masyarakat dan lingkungan ke dalam sistem yang luas dimana yang terjadi kemudian adalah hilangnya kontrol masyarakat (kelompok akar rumput) terhadap sumber-sumber penghidupan (livelihood) mereka. Masyarakat kehilangan kemampuan untuk memelihara livelihood secara independen, sehingga harus sangat bergantung pada aktor-aktor dari luar.
Kelima adalah praktik bisnis kapitalisme global yang bertumpu pada upaya untuk memperoleh sumberdaya alam dan tenaga kerja yang murah. Sumberdaya alam dan tenaga kerja yang murah adalah kunci dari praktik bisnis kapitalis yang dilakukan untuk menghemat biaya produksi. Kondisi-kondisi yang menguntungkan ini dapat ditemukan oleh negara-negara dunia pertama di negara-negara dunia ketiga. Upaya untuk memindahkan bisnis di negara-negara dunia ketiga ini seringkali diistilahkan dengan ‘pollution haven’,[2] dimana menguntungkan, bisnis akan dijalankan di tempat tersebut.
Keenam adalah terciptanya aliansi antara dunia pertama dengan dunia ketiga sebagai bentuk strategi akumulasi kapital. Dalam konteks ini, kepentingan bisnis dunia pertama di dunia ketiga tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan untuk bekerjasama dengan para aktor di dunia ketiga, khususnya ‘negara’. Aktor negara dibutuhkan untuk bisa mengakomodasi kebutuhan ekstraksi sumberdaya yang dilakukan oleh TNCs.[3]



          Praktik bisnis yang dijalankan baik oleh TNCs maupun bisnis lokal berperan penting dalam persoalan ekologi di dunia ketiga. Orientasi pencapaian keuntungan menjadikan kedua praktik bisnis ini berkaitan erat dengan persoalan keadilan sosial dan konservasi lingkungan. Perkembangan yang ada menunjukan bahwa baik bisnis lokal maupun bisnis transnasional, keduanya terlibat dalam gerakan ‘green business’ (bisnis hijau) yang diproyeksikan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Dalam konsep ‘green business’ inilah dimunculkan sebuah narasi harmonisasi antara  kepentingan untuk memperoleh keuntungan di satu sisi dengan konservasi lingkungan di sisi yang lain.
         Dalam konteks praktik bisnis yang ramah lingkungan, baik TNCs maupun bisnis lokal juga tidak sepenuhnya kebal atau imun terhadap tantangan atau kontrol dari aktor-aktor yang lain. Perubahan praktik bisnis korporasi ini memang tidak kemudian tiba-tiba menjadi environmental based. Posisi NGO lingkungan (ENGO) dengan gerakan kampanye boikot konsumennya menjadi salah satu perhatian bagi para pelaku bisnis. Sebagian besar TNCs saat ini juga berupaya untuk mengembangkan strategi pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan menghijaukan bisnis mereka. Imaje menjadi salah satu bagian dari strategi bisnis yang penting yang diupayakan oleh TNCs untuk memperbaiki brand mereka. Salah satu terobosan yang diklaim sebagai perkembangan industri yang ramah lingkungan adalah industri bioteknologi yang disebut-sebut sebagai bentuk pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Benarkah kemudian green business akan menjadi wajah bisnis yang benar-benar ramah terhadap lingkungan? Apakah kepentingan untuk memperoleh keuntungan benar-benar dapat berdampingan dengan kepentingan untuk tetap menjaga lingkungan?

(Dwi Wulan Pujiriyani/SPD 2015)


Bryant, Raymond L dan Bailey, Sinead. 1997. Third World Political Ecology. New York: Routledge.


[1] Hal ini dicontohkan dengan negara seperti Nigeria, Filipina, Burma, Brazil, Malaysia, India dan Zimbabwe yang menjadi penyedia sumberdaya alam bagi negara-negara dunia pertama.
[2] Pollution haven juga dapat dipahami sebagai strategi yang biasa dilakukan oleh negara-negara dunia pertama untuk menghindari berbagai regulasi atau aturan yang dianggap menghalangi pengembangan bisnis mereka di negara asal, sehingga kemudian berupaya mencari negara-negara lain (negara dunia ketiga) yang dianggap memiliki regulasi yang lebih lemah.
[3] Peran negara sebagai penyedia sumberdaya sangat vital. Dikatakan bahwa TNCs dan negara memiliki kepentingan yang hampir sama. Praktik bisnis membuat kedua aktor ini menjadi sangat dekat.

Pemuda dan Pertanian

Pemuda dan Pertanian di Malawi Blessing Chinsinga dan Michael Chasukwa. 2012. ‘Youth, Agriculture and Land Grabs in Malawi’. IDS...